Inalum Minta Harga Listrik Murah Agar Bisa Bersaing dengan Barang Impor

Agar smelter mendapat listrik dengan harga murah, Inalum menginginkan smelter mendapat ‎pasokan listrik khusus dari PLTA.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 08 Jul 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2019, 15:00 WIB
20160330- Progres Pembangun PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso-Sulut-Faizal fanani
Tiang pemancang terpasang di pembangunan PLTP Unit 5 & 6 di Tompaso, Sulut, Rabu (30/3). PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terus mengembangkan energi yang berfokus pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) sebagai induk usaha (holding) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor pertambangan berharap tarif listrik bisa murah. Tarif listrik murah ini untuk mendukung kegiatan hilirasi yang lebih efisien.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan, untuk melakukan kegiatan hilirisasi pertambangan mineral, ‎fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) membutuhkan pasokan listrik yang besar.

"Semua industri hilirisasi minerba butuh energi tinggi. Misal aluminium, kita butuh 14 ribu kilo Watt hour (kWh) per ton, copper smelter butuh 10 ribu kWh per ton, nikel butuh 4 ribu sampai 5 ribu kWh per ton," kata Budi, saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/7/2019).

Budi melanjutkan, karena kebutuhan listrik untuk smelter sangat besar, maka perlu tarif listrik yang murah agar biaya operasional kegiatan hilirisasi mineral menjadi lebih efisien. Dampaknya, harga mineral yang telah dimurnikan dari smelter di dalam negeri bisa bersaing dengan produk smelter di pasar global.

"Kalau harga energi mahal atau tidak murah maka kita tidak bisa berkompetisi di dunia. Ini sudah terjadi di berbagai dunia itu tutup pabriknya (smelternya)," tutur Budi.

Agar smelter mendapat listrik dengan harga murah, Budi pun menginginkan smelter mendapat ‎pasokan listrik khusus dari pembangkit listrik yang Biaya Pokok Produksinya (BPP) rendah, yaitu Pembangit Listrik Tenaga Air (PLTA).

"Indonesia punya potensi air, PLTA pembangkit listrik yang paling murah. Kami butuh dari dukungan pemerintah, potensi PLTA bisa dialokasikan untuk industri hiliar minerba jadi global positioning jadi lebih murah," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Inalum Jajaki Kerja Sama dengan Industri Logam di China

Dirut Inalum Budi Gunadi
Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi Gunadi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri BUMN Rini M Soemarno melakukan kunjungan ke China untuk bertemu dengan sejumlah CEO industri logam China. Kunjungan ini demi mempercepat terealisasinya hilirisasi tambang di Indonesia.

Turut mendampingi Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi G. Sadikin, Sekretaris Menteri BUMN Imam A Putranto dan Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Konsultan, Kementerian BUMN, Gatot Trihargo dan Staf Khusus Menteri BUMN Wianda Pusponegoro. 

”Percepatan hilirisasi industri tambang harus segera dilakukan. Ini untuk kepentingan rakyat dan bangsa, semakin tinggi nilai tambah produk tambang kita, semakin besar manfaat yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Saya optimis holding industri pertambangan akan mampu mewujudkan mandatnya dengan bantuan pihak-pihak terkait," jelas Menteri Rini dalam keterangannya, Jumat (17/5/2019).

Menanggapi ini, Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi G. Sadikin mengatakan, pertemuan dengan sejumlah CEO Industri logam di China untuk mendengarkan penjelasan tentang industri logam dan teknologinya.

"Serta menjajaki berbagai peluang kerja sama yang sesuai dengan rencana strategis kami dan dapat membantu kami mempercepat terealisasinya hilirisasi tambang untuk kesejahteraan masyarakat,” kata dia.

Di Beijing, rombongan bertemu dengan sejumlah CEO, antara lain CEO The Metallurgical Corporation Of China (MCC) untuk mempelajari peluang kerja sama dalam industri EPC dan/atau tambang kobalt/nikel; dan CEO Beijing Easpring Material Technology, mempelajari industri Electric Vehicle terutama dalam pembuatan Katoda.

Sementara di Inner Mongolia, rombongan menemui perusahaan coal gasification, Dalu Chemicals untuk mempelajari proses dan teknologi dalam coal gasification serta peluang kerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk.

Kemudian di Shanghai, rombongan melakukan kunjungan lapangan dan pertemuan dengan Huayou, perusahaan manufaktur cobalt chemical, termasuk manufaktur bahan energi baru lithium ion, pemrosesan bahan baru kobalt dan penambangan, benefisiasi dan peleburan kobalt dan tembaga; serta bertemu dengan Contemporary Amperex Technology (CATL) Battery untuk mempelajari industri Electric Vehicle.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya