Sektor Migas Masih Defisit, Ini Alasan Kementerian ESDM

Wamen ESDM Arcandra Tahar tak menyangkal fakta defisit perdagangan di sektor migas tersebut. Namun ada alasannya.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 13 Jul 2019, 11:15 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2019, 11:15 WIB
Arcandra Tahar
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan di sektor minyak dan gas (migas) sepanjang Januari-Mei 2019 masih mengalami defisit USD 3,74 miliar, dimana total nilai ekspornya yang sebesar USD 5,34 miliar masih lebih kecil dibanding jumlah impor migas sebanyak USD 9,08 miliar.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar tak menyangkal fakta defisit perdagangan di sektor migas tersebut. Namun, ia beralasan, negara saat ini cenderung memakai produk migas untuk konsumsi di dalam negeri ketimbang mengekspornya.

"Kita akui migas defisit, iya, karena gasnya kita gunakan untuk dalam negeri. Sudah 60 persen gas tuh digunakan di dalam negeri," ujar dia di Jakarta, seperti dikutip Sabtu (13/7/2019).

Menurutnya, keberadaan gas saat ini telah lebih dimanfaatkan untuk mendorong gerak ekspor industri non migas di Tanah Air. Seperti dalam produksi petrochemical, pupuk, hingga tenaga kelistrikan.

"Kalau ekspor gas kita makin lama makin berkurang, maka defisit migasnya akan bertambah. Tetapi kalau hasil dari berubahnya gas menjadi petrochemical, menjadi pupuk, dan lain-lain, dan itu diekspor, kategorinya masuk non migas," tuturnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Sebagai Penggerak Ekonomi Industri

20160921-Pekerja Jaringan Pipa Gas PGN-Jakarta- Helmi Afandi
Pekerja merawat jaringan pipa gas milik Perusahaan Gas Negara (PGN) di Jakarta, Rabu (21/9/2016). (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Arcandra menyatakan, sektor migas, khususnya gas kini telah dipakai untuk penggerak ekonomi dalam negeri dan membangun industri-industri baru. Jika masuk ke ranah ekspor, maka secara barang akan menjadi produk non migas.

"Kalau berubah wujud dan semakin banyak industri tumbuh dengan adanya gas, maka defisit migas makin besar karena ekspor sudah enggak ada. Tetapi surplus non migas makin meningkat karena kontribusi dari gas," ungkapnya.

"Makanya, sebaiknya, kita menyarankan bahwa melihatnya jangan sektoral lagi. Karena gas itu bukan lagi bahan baku yang diekspor semisal LNG (Liquefied Natural Gas), bukan. Dia berubah wujud, wujudnya itu menghasilkan devisa, tapi menjadi non migas," dia menandaskan.

Impor Migas Tinggi, Jokowi Tegur Menteri Jonan dan Rini Soemarno

Pimpin Sidang Kabinet Paripurna, Jokowi Bahas Prioritas Nasional 2019
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/4). Sidang membahas ketersediaan anggaran dan pagu indikatif serta prioritas nasional tahun 2019. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi didampingi Wapres Jusuf Kalla, memimpin sidang kabinet paripurna. Jokowi menyebut bahwa ekspor Indonesia dari Januari hingga Mei 2019 mengalami penurunan sebesar 8,6 persen dengan nilai 68,46 miliar dolar AS.

"Impor Januari-Mei 2019, juga turun 9,2 persen. Hati-hati terhadap ini, artinya neraca perdagangan kita Januari-Mei ada defisit USD 2,14 miliar," ucap Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor Jawa Barat, Senin (8/7/2019).

Jokowi lantas menegur Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno terkait besarnya impor minyak dan gas (migas) yang mencapai USD 2,09 miliar pada Mei 2019. Dia meminta agar dua menteri tersebut lebih memperhatikan nilai impor yang sangat tinggi akibat pembelian migas.

"Hati-hati di migas Pak Menteri ESDM yang berkaitan dengan ini. Bu Menteri BUMN yang berkaitan dengan ini, karena ratenya yang paling banyak ada di situ," ujar dia.

Kendati begitu, Jokowi menilai masih ada peluang untuk meningkatkan ekspor ditengah-tengah perang dagang Amerika-China. Menurut dia, perang dagang tersebut bisa menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menaikkan kapasitas dari pabrik dan industri yang ada.

"Saya sampaikan maupun pasar-pasar yang baru, sekali lagi ini peluang, tekstil itu peluang. Gede-gede sekali furniture itu peluang," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

"Inilah yang selalu kita kalah memanfaatkan peluang, ada oppurtunity tidak bisa kita ambil karena insentif-insentif itu tidak kita berikan," sambung Jokowi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya