Liputan6.com, Jakarta - Kementerian PPN/Bappenas menetapkan tiga kaidah utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. RPJMN merupakan dokumen perencanaan pembangunan untuk perioda 5 tahunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program pemerintah.
Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Arifin Rudiyanto mengungkapkan ketiga kaidah tersebut adalah kemandirian, keadilan dan keberlanjutan.
Advertisement
Baca Juga
"Semua upaya pembangunan dalam RPJMN 2020-2024 nanti ada 3 kaidah yang kita penuhi. Yang pertama harus mampu membangun kemandirian, kedua menjamin keadilan ketiga menjaga keberlanjutan," kata dia, saat ditemui di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (26/7).
Dia menjelaskan, dari sisi kemandirian diharapkan Indonesia akan mencapai kemandirian pangan dan energi. Serta kemandirian dalam sektor lain yang tidak kalah pentingnya.
"Menjaga keadilan tuh keadilan antar masyarakat atas dan menengah bawah," ujarnya.
Selain itu, di dalam RPJMN, soal keadilan juga mencakup keadilan wilayah dimana pembangunan di Indonesia timur dan barat harus seimbang dan merata.
Sementara itu, dalam menjaga keberlanjutan, setiap pembangunan harus memperhatikan kondisi alam dan sekitarnya. Pembangunan yang dijalankan jangan sampai merusak atau menggerus Sumber Daya Alam (SDA).
"Dan juga menjaga keberlanjutan tadi, sumber daya terjaga sehingga kebutuhan generasi mendatang masih tetap bisa dipenuhi," tutupnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bareng Bank Dunia, Bappenas akan Hitung Seluruh Kekayaan Alam Indonesia
Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan produk hasil kegiatan Waves fase I. Waves merupakan program kerja sama pemerintah dengan Bank Dunia dalam melakukan penghitungan neraca Sumber Daya Alam (SDA).
Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Arifin Rudiyanto, menyebutkan bahwa selama ini Indonesia belum pernah melakukan penghitungan SDA secara keseluruhan.
"Kita perlu menghitung berapa sih SDA yang kita miliki, apa saja yang kita miliki, apa fungsinya, dimana itu berada karena negara kepulauan kita harus tahu di Sumatera, di Jawa," kata dia, dalam acara peluncuran di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Dia mengungkapkan, Indonesia menjadi satu dari 20 negara yang tergabung dalam program Waves bersama Bank Dunia tersebut.
"Proyek Waves ini kerja sama dengan BPS dengan Bappenas dan Kementerian Keuangan dan kementerian lain mengembangkan sistem ini. Sistem menghitung neraca atau menghitung SDA yang kita miliki sekaligus nilai ekonominya," ujarnya.
Data Waves tersebut, nantinya digunakan dalam menyusun rancana pembangunan nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang.
"Kita akan menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jadi tidak ada lagi nanti pertentangan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan," ujarnya.
Advertisement
Bos Bappenas Beberkan Faktor Penghambat Pertumbuhan Ekonomi RI
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah berada dalam puncak kejayaannya yakni sebesar 7,5 persen pada era 1960-an. Namun, kondisi ini berbalik di mana pertumbuhan ekonomi pada saat ini sedang mengalami perlambatan atau stagnan di kisaran 5 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat. Salah satunya adalah mengenai regulasi dibidang ketenagakerjaan.
Menteri Bambang menyebut, perosalan yang hadir di ketenagakerjaan sering kali datang dari tingginya biaya pesangon. Sehingga itu menjadikan beban bagi perusahaan atau pemberi kerja, yang kemudian berdampak pada perekrutan tenaga kerja kontrak atau outsourcing.
"Terlihat bahwa regulasi tenaga kerja belum membuat perusahaan tertarik untuk upgrade tenaga kerja dengan durasi lebih pasti dan panjang," katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (24/7).
Menteri Bambang menyebut selama ini persoalan tenaga kerja di Indonesia masih cukup rumit. Sebab, hanya ada di bawah 10 persen perusahaan yang memberikan pelatihan formal terhadap tenaga kerjanya.
Kondisi ini jauh apabila dibandingkan dengan negara Vietnam yang sebagian besar 20 persen perusahaannya telah memberikan pelatihan formal. Selain Vietnam, Filipina dan China juga masing-masing berada di 60 persen dan 80 persen perusahaannya memberikan pelatihan formal.
"Kalau tidak dilatih, bagaimana berdaya saing. kualitas seadanya, ganggu produktivitas perusahaan sendiri," imbuhnya.