Devaluasi Yuan Tak Ganggu Perdagangan Indonesia

Dalam jangka pendek, devaluasi mata uang China tidak berdampak pada kinerja ekspor dan impor nasional.

oleh Athika Rahma diperbarui 12 Agu 2019, 14:15 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2019, 14:15 WIB
Ilustrasi mata uang yuan (iStock)
Ilustrasi mata uang yuan (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) optimistis pelemahan mata uang China, [yuan](global ""), tidak akan mengganggu kinerja perdagangan Indonesia, baik ekspor maupun impor.

Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, kinerja perdagangan Indonesia lebih dipengaruhi akan permintaan dan kualitas produk. Jika memang permintaan tinggi maka pelemahan yuan tidak akan membuat ekspor merosot.

Begitu juga dengan kualitas produk. Jika produk nasional berkualitas maka konsumen tetap akan mencari dan tidak akan terpengaruh dengan pelemahan yuan. 

Untuk diketahui, pelemahan [yuan](global "") akan membuat barang-barang produksi dari China akan lebih murah. Disinyalir dengan harga lebih murah maka produk China akan membanjiri dunia.

"Dalam jangka pendek, devaluasi mata uang China tidak berdampak pada kinerja ekspor dan impor kita. Kita lihat ekspor kita masih akan tinggi, tergantung sisi permintaan dan kualitasnya sendiri," ujarnya di gedung Bank Indonesia, Senin (12/08/2019).

Devaluasi yuan, lanjut Dody, bergantung pada kebijakan pemerintah China sendiri. Yuan dinilai melemah akibat mekanisme pasar.

Sebelumnya, Presiden Amerika Donald Trump menyatakan China telah memanipulasi mata uang, ditandai dengan pelemahan yuan terus menerus. Ketegangan kedua negara pun semakin berlanjut.

[Yuan](global "") China (CNY) dibuka di level 6,9 per dolar AS pada Senin (05/08/2019) yang merupakan terendah sejak Desember 2018. Sementara pada akhir perdagangan Senin (05/08/2019), kurs yuan ditutup pada level 7,03 yuan per dolar AS.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Menko Darmin: Perang Dagang AS-China Jadi Biang Kerok Ekonomi RI Melambat

Ilustrasi mata uang yuan (iStock)
Ilustrasi mata uang yuan (iStock)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 sebesar 5,05 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Sementara pertumbuhan ekonomi di semester I 2019 hanya sebesar 5,06 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, perlambatan pertumbuhan ekonomi di semester I khususnya pada kuartal II akibat perang dagang Amerika Serikat dan China. Dampak ketegangan tak hanya dirasakan kedua negara itu, tetapi juga perdagangan global.

"Itu (tahun lalu) memang menunjukkan pergerakan ekonominya kalau impor naik. Kali ini tidak. Impornya negatif dan itu memang kelihatannya dampaknya terhadap pertumbuhan itu cukup langsung," ujar Menko Darmin di Kantornya, Jakarta, pada Senin 5 Agustus 2019. 

Dia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan pada tahun ini masih bisa capai target sebesar 5,3 persen. Namun dengan catatan kondisi ekonomi global stabil.

"Tentu saja tergantung ekonomi global seperti apa pasti ada pengaruh ke situ tapi kita tidak bisa bilang murni hanya sekedar ekonomi dalam negeri. Global bagaimana kita belum tahu ,tapi melihat gejala globalnya katanya berunding-berunding tapi tahu-tahu bea masuk naik lagi," jelasnya.

Mantan Direktur Jenderal Pajak tersebut menambahkan, sejauh ini pemerintah belum punya strategi baru untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi."Kita sebenarnya kebijakan sudah merumuskan beberapa macam dan tinggal ada hal yang bisa diwujudkan atau tidak, itu saja yang perlu diperhatikan," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya