Pemerintah Diminta Lebih Berpihak pada Petani Tembakau

Petani tembakau mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah untuk membantu pertanian tembakau di Tanah Air.

oleh Septian Deny diperbarui 15 Agu 2019, 10:30 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2019, 10:30 WIB
Mengenal dan Mengendalikan Hama Tanaman Tembakau Memanfaatkan Teknologi Digital
Para petani tembakau di lahan perkebunan mereka di Desa Jatiguwi, Kabupaten Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Jakarta - Petani tembakau mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah untuk membantu pertanian tembakau di Tanah Air. Padahal, selama ini kontribusi tembakau terhadap penerimaan negara melalui cukai cukup besar.

Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo mengatakan, kurangnya perhatian pemerintah terhadap para petani tembakau ini terbukti dengan keluarnya regulasi yang menekan para industri tembakau, seperti kenaikan cukai rokok dan Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Bebas Rokok.

"Dibanding negara negara lain, di Indonesia sendiri tidak adil dalam membantu dan membela petani, berkaitan cukai itu problemnya banyak misalkan regulasi yang mengurangi atau menambah tekanan kepada industri hasil tembakau," katanya di Jakarta, Kamis (15/8/2019).

Budidoyo mengungkapkan jika pemerintah akan menaikkan culai maka akan timbul atau kuncul rokok-rokok ilegal dan yang dirugikan adalah pemerintah. Sementara untuk para petani  kenaikan cukai itu tidak masalah, karena para pelaku industri masih membeli tembakau ke petani.

"Misalkan mengurangi perfelensi merokok itu pemerintah mengenakan cukai disamping itu regulasi di daerah peraturan peraturan daerah tentang tanpa rokok ini sudah berdampak juga terhadap sehingga cukai tetap berdampak karena itu menyangkut kepada daya beli masyarakat," ungkap dia. 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Penghasil Tembakau Terbaik

Petani Tembakau
Petani tembakau asal Desa Tobungan Kecamatan Galis, Pamekasan Jawa Timur. Foto: (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Sementara itu, Ketua Asosiasi Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat Suryana mengatakan, Jabar merupakan salah satu provinsi penghasil tembakau nomor satu, dengan kualitasnya. Untuk kalangan dunia, Jawa Barat adalah merupakan daerah penghasil tembakau terbaik nomor 5.

Diketahui saat ini lahan untuk perkebunan tembakau di kabupaten Bandung hanya memiliki lahan seluas 1.524 hektar termasuk Desa Citaman, Kecamatan Nagreg, tersebut.

Lanjut Suryana produksi di Desa Citaman setiap hektar dapat menghasilkan 10 -14 ton tebakau basah, dari tembakau basah tersebut dapat menghasilkan sekitar  3 ton hingga 5 ton daun tembakau kering. Untuk  keseluruhan Jawa Barat Suryana mengatakan bisa menghasilkan 38 ribu ton. Hasil tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan tembakau  di Jabar yang per tahunnya membutuhkan sekitar 138 ribu ton.

"Selama memenuhi kekurangan kebutuhan di Provinsi Jabar, kami mendatangkan dari Jawa Timur (Jatim) sekitar 70 ribu ton tembakau kering dan selebihnya  dari Nusa Tenggara Timur (NTB)," kata Suryana.

Suryana juga mengatakan  salah satu keunggulan produk tembakau dari Jabar adalah tembakau yang dihasilkan dapat dimodifikasi warna sesuai kebutuhan pasar.

"Unggulnya tembakau di Jawa Barat adalah bisa dimodifikasi warna sesuai kebutuhan pasar, misalkan ingin membuat tembakau merah, hijau putih, kuning dan coklat. Ini keunggulan Jawa Barat. Sementara  yang lain gak ada," terang Suryana.

Menperin Ungkap Kontribusi Industri Hasil Tembakau ke Negara

Menperin Airlangga Hartarto
Menperin Airlangga Hartarto menyambangi sentra kerajinan perak Kotagede

Industri Hasil Tembakau (IHT) dinilai masih menjadi salah satu sektor manufaktur yang berkontribusi besar bagi negara. Dampaknya mulai dari aspek sosial, ekonomi, maupun pembangunan bangsa Indonesia selama ini.

Ini diungkapkan Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto. Mengacu data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), total tenaga kerja yang diserap sektor industri rokok sebanyak 5,9 juta orang, terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi.

Sementara sisanya 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan. Selain dari aspek tenaga kerja, industri rokok telah meningkatkan nilai tambah bahan baku lokal dari hasil perkebunan seperti tembakau dan cengkeh.

“IHT merupakan bagian sejarah bangsa dan budaya Indonesia, khususnya rokok kretek. Pasalnya, merupakan produk berbasis tembakau dan cengkeh yang menjadi warisan inovasi nenek moyang dan sudah mengakar secara turun temurun,” kata dia.

Tak hanya itu, industri rokok juga dinilai sebagai sektor yang berorientasi ekspor sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Pada 2018, nilai ekspor rokok dan cerutu meningkat 2,98 persen dibanding tahun sebelumnya yang sebesar USD 904,7 juta.

“Industri rokok juga dapat dikatakan sebagai kearifan lokal yang memiliki daya saing global,” tegas Airlangga.

Industri hasil tembakau turut berkontribusi besar dalam penerimaan cukai. Pada 2018 lalu, penerimaan cukai menembus hingga Rp 153 triliun atau lebih tinggi dibandingkan perolehan pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp 147 triliun. Penerimaan cukai pada tahun lalu telah berkontribusi 95,8 persen terhadap pendapatan cukai nasional.

Meski demikian, produk IHT merupakan barang kena cukai. Pengenaan cukai ini untuk mengendalikan konsusimnya. Karena itu, peraturan terkait rokok semakin ketat, baik di dalam maupun luar negeri. Alasan petimbangan terhadap perlindungan konsumen dan kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi industri rokok.

“Tentunya, melalui industri ini, kami tidak menganjurkan agar masyarakat banyak mengkonsumsi rokok, tetapi kami mengajak bahwa anak-anak muda dijauhkan dari rokok, terutama anak sekolah. Selain itu, kemi mendorong untuk menjaga kesehatan melalui R&D industrinya,” ungkap Airlangga.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya