Liputan6.com, Jakarta Abdillah Achsan dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) menyampaikan bahwa sekema cukai rokok Indonesia saat ini terlalu rumit. Menurutnya, saat ini cukai rokok ditentukan oleh beberapa pertimbangan, misalnya jenis rokoknya, jumlah produksi, dan rentang harga jual.
"Intinya saat ini ada 10 jenis tarif cukai (rokok). Empat untuk karetek tangan, enam untuk rokok mesin," papar Abdillah dalam sebuah Workshop Bahaya Industri Rokok di Swiss-bel Hotel, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (25/8/2019).
Menurut Abdillah, sepuluh jenis tarif tidak sederhana. Baginya, hal itu bisa disederhanakan menjadi hanya beberapa saja.
Advertisement
Baca Juga
Masih menurut ekonom UI itu, penyederhanaan difokuskan dalam jenis rokok yang diproduksi oleh mesin. Yang mana jenis ini tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja.
"Rokok tangan oke kita paham. Kita sepakat lah ya karena itu menyerap tenaga kerja. Nah yang mesin tidak perlu ada perbedaan perlakuan cukai," katanya.
Saat ini, lanjut Abdillah, ada enam jenis-jenis tarif cukai rokok yang diproduksi oleh mesin. Yakni tiga untuk kretek mesin dan tiga untuk jenis putih mesin atau rokok rendah nikotin.
Dalam jenis rokok yang diproduksi oleh mesin ini, kata Abdillah, masih dibagi lagi berdasarkan kuantitas produksinya. "Golongan satu itu yang produksi tiga miliar ke atas, dan golongan dua itu yang di bawah tiga miliar," paparnya.
Hal ini berarti, ia melanjutkan, jika ada perusahaan rokok yang hanya memproduksi tiga miliar kurang satu batang, maka tarif rokoknya ikut ke tarif golongan dua.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penyederhanaan
Abdillah menilai, jika perbedaan golongan tarif dalam rokok yang diproduksi mesin ini ditiadakan, atau dileburkan. Maka negara akan memperoleh lonjakan pemasukan dari cukai rokok.
Hal ini berangkat dari asumsi bahwa cukai rokok kretek mesin golongan satu sebesar Rp 590 sementara untuk tarif cukai rokok putih mesin golongan satu Rp 625.
"Maka ada selisih sebesar Rp 35 per batang ya," jelas Abdillah.
Maka jika keduanya dileburkan mengikuti tarif Rp 625, menurut perhitungan ekonom UI itu, negara akan memperoleh keuntungan 35 perbatangnya dari rokok kretek mesin. Dan, ia melanjutkan, konsumen pun tidak akan diberatkan bila ada kenaikan cukai rokok kretek mesin sebesar Rp 35.
"Perokok yang termiskin pun ya tanyain, bapak kalau harga rokoknya saya naikin 35 rupiah apakah keberatan? Saya berani taruhan dia gak bakal keberatan," tegasnya.
Sehingga, menurut Abdillah, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melakukan penyederhanaan tarif cukai rokok kretek mesin.
Â
Â
Â
Advertisement
Kenaikan Pemasukan
Menurut Abdillah, seandainya pemerintah mengikuti sekema seperti yang ia sarankan, maka negara akan mendapatkan pemasukan tambahan sebesar Rp 7 triliun. Abdillah menjelaskan, perhitungan ini didapat dari angka 35 dikali kan jumal produksi kretek mesin golongan satu yang mencapai angka 211 miliar batang pertahun.
"211 miliar dikalikan Rp 35 itu kita dapat 7 triliunan," tutup Abdillah.