Ibu Kota Pindah, Swasta Bisa Kelola Aset di Jakarta Senilai Rp 1.100 Triliun

Seluruh aset milik negara yang berada di Jakarta diperkirakan memiliki potensi lebih dari Rp 1.100 triliun.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 18 Sep 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2019, 14:00 WIB
Mencari Ibu Kota Baru Pengganti Jakarta
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (30/4/2019). Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan, pemerintah saat ini masih terus mengkaji wilayah yang layak untuk menjadi ibu kota baru pengganti Jakarta. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru. Perpindahan itu kemudian memberi kesempatan bagi pihak swasta untuk bisa mengelola aset milik negara yang ada di Jakarta paling cepat pada 2020 mendatang.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, seluruh aset milik negara yang berada di Jakarta diperkirakan memiliki potensi lebih dari Rp 1.100 triliun.

"Potensinya menurut perhitungan Kementerian Keuangan, saat ini setelah revaluasi aset, potensi aset milik negara di Jakarta di atas Rp 1.100 triliun. Dari Rp 1.100 triliun tersebut dikaitkan dengan pembangunan ibu kota baru, ada sekitar separuhnya yang nantinya bisa dikerjasamakan dengan swasta," tuturnya di Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Kendati begitu, ia menyatakan, ada beberapa aset negara yang secara kepemilikan tidak bisa diserahkan kepada swasta. Seperti sekolah dan rumah sakit, yang merupakan fasilitas publik.

"Yang tidak boleh misalnya sekolah, rumah sakit, kan itu tetap menjadi fasilitas publik di Jakarta. Jadi ini lebih fokus kepada yang kantor, atau rumah dinas yang nantinya akan ditinggalkan ketika ibu kota pindah," ujar dia.

Dia pun memproyeksikan, swasta sudah bisa melakukan penawaran untuk kepemilikan aset negara yang berada di Jakarta mulai 2020, pasca masterplan pembentukan ibu kota baru rampung.

"Paling cepat ya tahun depan. Karena kita harus siapkan dulu masterplan dari ibu kota baru ini," ungkap Menteri Bambang.

Terkait skema kerjasama kepemilikan aset tersebut, ia menjelaskan, pemerintah akan mengacu terhadap kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan barang milik negara.

"Ada yang build-operate-transfer, atau bangun guna serap, maupun yang bersifat kerjasama pemanfaatan dengan satu durasi waktu, 30 tahun kira-kira," jelas dia.

Menteri Bambang kemudian menargetkan, desain masterplan ibu kota baru bisa segera rampung pada tahun ini. "Masterplan bisa selesai seluruhnya segera di tahun ini," tandasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Swasta Dinilai Tak Minat Ikut Bangun Ibu Kota Baru Indonesia

Siswa SD
Sejumlah siswa mencari lokasi calon ibu kota baru pada peta saat kegiatan belajar bertema wawasan Nusantara di SDN Menteng 02, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Kegiatan belajar wawasan Nusantara itu memberitahukan lokasi pemindahan ibu kota RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur.(merdeka.com/Imam Buhori)

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan pihak swasta tidak terlalu tertarik untuk terlibat dalam proyek pembangunan ibu kota baru. Salah satu penyebab, sebut dia, terkait dengan kondisi ekonomi global yang sedang mengalami penurunan.

Diketahui, dalam rancangan Pemerintah, biaya pembangunan ibu kota baru yang berasal anggaran sebesar 19 persen. Sisanya pemerintah akan mengundang keterlibatan badan usaha.

"Infrastruktur bangun sana sini, swasta tuh nggak banyak yang minat. Soalnya kondisi ekonomi sekarang lagi nggak enak," kata dia, di Jakarta, Rabu (11/9/2019). 

Selain itu, jangka waktu balik modal yang panjang, lanjut Bhima, juga menjadi alasan pihak swasta tidak terlalu berminat pada proyek infrastruktur.

"Dan infrastruktur itu proyek yang jangka panjang sekali baru kembali modal," imbuhnya.

Data Bank Dunia

Mencari Ibu Kota Baru Pengganti Jakarta
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (30/4/2019). Pemerintah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta lantaran Pulau Jawa dinilai sudah terlalu padat penduduk. (Liputan6.com/JohanTallo)

Hal tersebut, kata dia, diperkuat dengan laporan Bank Dunia, yang menyatakan pihak swasta hanya berkontribusi 10 persen dari total proyek infrastruktur.

"Faktanya dari data Bank Dunia pernah bilang, keterlibatan swasta dalam proyek infrastruktur kurang dari 10 persen. Jadi 100 persen kue itu, 10 persen itu swasta," ujar dia.

"Itu kan sebenarnya ada di dalam laporan Bank Dunia pada waktu itu dia mengevaluasi infrastruktur. Infrastruktur di Indonesia. Jadi dalam range yang cukup panjang. Kalau tidak salah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir," tandas Bhima.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya