Pemerintah Diminta Dukung Pengembangan Teknologi di Industri Tembakau

Saat ini pemerintah dinilai belum memberikan ruang alternatif untuk melakukan pengembangan teknologi di industri tembakau.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Sep 2019, 15:15 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2019, 15:15 WIB
Ilustrasi buruh rokok
Proses pelintingan sigaret kretek tangan (SKT) di sebuah industri rokok di Kediri, Jatim. Saat ini tinggal 75 industri rokok yang bertahan akibat tarif cukai tembakau naik setiap tahunnya. (Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU mengajak pemerintah memperhatikan pengembangan teknologi terutama di industri rokok. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi masalah rokok di Indonesia melalui pendekatan harm reduction (pengurangan risiko) dengan penggunaan produk tembakau alternatif.

“Pemerintah harus punya perhatian lebih, terutama sekarang kan dikembangkan teknologi dan berkembang di semua sektor termasuk industri rokok,” ujar Ketua Lakpesdam PBNU, Rumadi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (21/9/2019).

Rumadi melihat, saat ini pemerintah belum memberikan ruang alternatif untuk melakukan pengembangan teknologi di industri tembakau, yang memungkinkan terjadinya pengurangan risiko merokok. Padahal jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Korea, pendekatan harm reduction sudah mulai disosialisasikan kepada pemangku kepentingan, sehingga semua pihak mendapatkan pemahaman yang holistik.

 

Salah satu langkah konkrit dengan diadakannya Asia Harm Reduction Forum (AHRF) ke-3 yang dilakukan di Seoul Korea Selatan beberapa waktu lalu. Forum tersebut menjembatani para pemimpin untuk berbagi pandangan dan pengalaman tentang masalah pengurangan bahaya bagi kesehatan.

“Kan sekarang dari tembakau juga mulai dikembangkan, ada paradigma harm reduction, ada produk-produk yang risikonya lebih kecil, ada rokok yang tidak dibakar tapi dipanaskan, yang saya lihat pemerintah belum memberikan ruang untuk mendiskusikan hal-hal seperti itu,” kata Rumadi.

Rumadi mengungkapkan, jika pemerintah serius dalam mengurangi risiko merokok, harusnya industri tembakau yang memiliki inisiatif pendekatan pengurangan risiko mendapatkan peluang untuk didorong. Sayangnya saat ini Pemerintah masih menggunakan paradigma kesehatan ketimbang dari sisi inovasi dan teknologi.

“Saya lihat ada lack of capacity antara industri tembakau dengan pengambil kebijakan terutama yang berkaitan dengan kesehatan. Dunia kesehatan perlu membuka diri untuk mencoba melihat secara scientific, apakah yang dikatakan oleh industri tembakau itu apakah benar atau tidak, itu perlu didialogkan dengan terbuka,” ungkap Rumadi.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kampanye Anti Tembakau

Bungkus Rokok atau Kemasan Rokok
Ilustrasi Foto Kemasan Rokok (iStockphoto)

Ditambahkan Rumadi, pendekatan harm reduction itu salah satu yang bisa ditempuh, yang harus menjadi paradigma baru dalam melihat industri tembakau di tengah gencarnya kampanye anti tembakau. Apalagi Industri Hasil Tembakau (IHT) saat ini sedang menghadapi tekanan dari pegiat kesehatan.

“Kalau mau mencari keseimbangan, kita tidak mungkin mematikan industri rokok, dengan kondisi Indonesia sekarang, risikonya terlalu besar. Tetapi mengabaikan aspek kesehatan soal tembakau saya rasa juga tidak fair, maka memang harus dicari keseimbangan,” kata Rumadi.

Dengan potensi yang dimiliki produk tembakau alternatif dalam menekan jumlah perokok, menurut Rumadi, pemerintah segera mendorong regulasi baru. Saat ini, aturan yang mengatur produk tembakau alternatif baru berupa pengenaan tarif cukai 57 persen. “HPTL berpotensi memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah, nah ini yang harus dijadikan fokus oleh pemerintah. Kalau bias iklim regulasi seperti cukai seharusnya juga bisa lebih rendah,” tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya