Jurus Sri Mulyani Kejar Sisa Target Pajak Rp 441 Triliun Jelang Akhir Tahun

Hingga kini pemerintah masih optimis mempertahankan proyeksi defisit pada 2,2 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Des 2019, 20:00 WIB
Diterbitkan 13 Des 2019, 20:00 WIB
(Foto: Merdeka.com/Wilfridus S)
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto:Merdeka.com/Wilfridus S)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati angkat suara mengenai kekurangan penerimaan pajak sekitar Rp 441 triliun pada tahun ini. Pada awal tahun lalu, pemerintah menargetkan mengumpulkan pajak sekitar Rp 1.577 triliun namun hingga kini baru terkumpul sekitar Rp 1.136 triliun.

Dia mengatakan, akan melihat seluruh aktivitas belanja negara dan pendapatan hingga akhir tahun. Sehingga, pemerintah dapat mempertahankan defisit anggaran dalam batas 2,2 persen. Hal tersebut disampaikan di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Jumat (13/12/2019).

"Pokoknya nanti kita selesaikan seluruhnya karena akhir tahun ini, 2 minggu ini akan kita lihat pergerakan dari seluruh belanja yang bisa confirm, yang tidak bisa confirm, yang bisa cair, yang tidak bisa cair. Juga kita akan hitung semuanya dari perpajakan, pajak, bea dan cukai, dari deviden, dari PNBP kita lihat semuanya ini," ujarnya.

Sri Mulyani melanjutkan, hingga kini pemerintah masih optimis mempertahankan proyeksi defisit pada 2,2 persen. "Jadi kami tetap akan menjaga defisitnya ada di kisaran yang sudah disampaikan. Di 2,2 persen, kita akan jaga di sekitar itu dan itu kita optimis. Mungkin kalau meleset ya satu digit di atas di bawah itu. Itu yang kita yakini," jelasnya.

Melihat kondisi tahun ini, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, belum dapat memastikan akan ada perubahan proyeksi defisit anggaran untuk tahun yang akan datang.

Dia juga menegaskan, APBN hanya instrumen untuk menjalankan kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi terkini.

"Sama seperti setiap tahun ini, jadi tidak ada yang baru. Perubahan atau pergerakan dari sisi penerimaan yang sifatnya actual yang kemudian menjadi based line kita untuk tahun depan. Tentu kita akan lihat seluruh nanti keseluruhan porsi penerimaan, porsi belanja, policy apa yang akan digunakan. Saya tekankan sekali lagi, fiskal merupakan instrumen," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

6 Isu yang Bayangi Kebijakan Pajak di Era Jokowi

Konferensi Pers DDTC
konferensi pers 'Tantangan & Outlook Pajak 2020: Antara Relaksasi & Mobilisasi', disampaikan oleh Partner DDTC Fiscal Research, B. Bawono Kristiaji, dan Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro, Jumat (13/12/2019)

Terdapat 6 isu yang akan mewarnai kebijakan pajak pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ini merupakan hasil kajian DDTC Fiscal Research, perihal perkiraan berbagai isu akan mewarnai dinamika kebijakan pajak dalam jangka pendek dan menengah, pada tahun 2020.

Kajian tersebut disampaikan Partner DDTC Fiscal Research, B Bawono Kristiaji, dan Fiscal Economist DDTC Denny Vissaro, di Jakarta, Jumat (13/12/2019).

Bawono, memaparkan tantangan utama dalam jangka menengah terkait pajak adalah meningkatkan tax ratio. Upaya tersebut tidak akan berjalan mudah, mengingat kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.

Selain itu, terdapat 6 isu yang akan mewarnai kebijakan pajak saat kepemimpinan Joowi. Isu pertama, berkaitan dengan penguatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk memanfaatkan bonus demografi.

Kedua, kebijakan dalam mendorong daya saing yang seharusnya fokus menciptakan kepastian bagi wajib pajak. Ketiga, terobosan kebijakan dalam bentuk omnibus law harus dilihat sebagai salah satu bagian untuk melakukan pembenahan ekonomi nasional.

Menurut dia, kebijakan tersebut harus didukung dengan instrumen lain seperti infrastruktur, reformasi birokrasi, kebijakan moneter, dan kestabilan politik. Khusus untuk kebijakan pajak, terobosan yang bisa dilakukan ialah dengan strategi 'Relaksasi-Partisipasi'.

Pilihan kebijakan tersebut bisa mencakup relaksasi yang dipertukarkan dengan ‘memaksa’ wajib pajak untuk lebih aktif dalam menggerakkan perekonomian. Selain itu, relaksasi juga bisa dipertukarkan dengan data dan informasi.

"Relaksasi bisa dipertukarkan dengan kepatuhan sukarela wajib pajak. Relaksasi yang dipertukarkan untuk berkontribusi dalam pembayaran pajak juga bisa menjadi pilihan," kata Bawono.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya