Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo meminta agar mempercepat replanting kebun kelapa sawit. Pemerintah kata dia akan menargetkan 500 ribu hektare (ha) dalam 3 tahun ke depan.
"Karena dana sawit kita besar. Terakhir 20-an triliun, yang akan kita pakai untuk replanting peremajaan kebun sawit milik petani. Target kita, 500 ribu hektare dalam 3 tahun ke depan untuk peremajaan sawit," kata Jokowi di SPBU M.T Haryono, Jakarta Selatan, Senin (23/12).
Dia menjelaskan peremajaan kebun sawit di Indonesia susah berjalan 2 tahun. Sebab itu dia berharap proses moratorium lahan sawit akan mencapai target yang diharapkan.
Advertisement
"Negara lain bisa kok mencapai 7-8 ton, kenapa kita tidak? Karena penggunaan bibit sawit yang berkualitas baik. Ini proses yang sudah kita kerjakan dalam 2 tahun ini meremajakan kebun2 sawit rakyat. Ini akan kita teruskan," ungkap Jokowi.
Pemerintah juga akan menyiapkan skema khusus untuk pembiayaan replanting kebun kelapa sawit melalui platform Kredit Usaha Rakyat (KUR). Nantinya, penyaluran KUR tersebut akan ditargetkan untuk 500 ribu hektare (ha).
Baca Juga
"Kami kembangkan KUR berbasis replanting sawit untuk 500 ribu ha," kata Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, di Kantornya, Jakarta, Kamis (19/12).
Selain untuk replanting sawit, pemerintah juga akan menyiapkan skema KUR untuk replanting karet. Hanya saja, pihaknya mengaku masih ingin menggodok skema pembiayaan untuk KUR sawit sebelum pada akhirnya masuk ke karet.
"Kami akan bicarakan lebih lanjut dengan Perbankan ,dan Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah kami kembangkan action plan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, mengatakan pembiayaan KUR untuk program replanting sawit memang diperlukan. Sebab, bantuan pendanaan yang diberikan oleh Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 25 juta per hektare belum cukup.
Reporter: Intan Umbari Prihatin
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Diskriminasi Sawit, Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO
Pemerintah Indonesia melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia(PTRI) di Jenewa, Swiss resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Gugatan diajukan terhadap kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE
Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
"Indonesia resmi mengirimkan Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan ini dilakukan setelah melakukan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah, serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya," ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dalam keterangannya, Minggu (15/12/2019).
Menurut Mendag, gugatan ini dilakukan sebagai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED II dan Delegated Regulation.
Kebijakan-kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit karena membatasi akses pasar minyak kelapa sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit. Diskriminasi dimaksud berdampak negatif terhadap ekspor produk kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
"Dengan gugatan ini, Indonesia berharap UE dapat segera mengubah kebijakan RED II dan Delegated Regulation serta menghilangkan status high risk ILUC pada minyak kelapa sawit,"pungkas Mendag Agus.
Advertisement
Energi Terbarukan
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana menjelaskan, melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai tahun 2020 hingga tahun 2030 penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.
Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakanaturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke dalam kategori komoditas yangmemiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia.
"Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak kelapasawit oleh UE. Selain akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE,juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global," ujar Wisnu.