BI: Uang Beredar Melonjak di November 2019

Bank Indonesia telah menyatakan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) begitu pula uang beredar dalam arti sempit (M1), keduanya meningkat pada November 2019.

oleh Tira Santia diperbarui 31 Des 2019, 11:45 WIB
Diterbitkan 31 Des 2019, 11:45 WIB
Ilustrasi uang (sumber: iStockphoto)
Ilustrasi uang (sumber: iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia telah menyatakan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2), begitu pula uang beredar dalam arti sempit (M1), keduanya meningkat pada November 2019.

Dilansir dari laporan yang dirilis Bank Indonesia, Selasa (31/12/2019), diketahui posisi M2 pada November 2019 tercatat Rp 6.072,7 triliun atau tumbuh 7,1 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 6,3 persen (yoy).

Adapun percepatan pertumbuhan M2, berasal dari peningkatan komponen uang beredar dalam arti sempit (M1). Uang beredar dalam arti sempit (M1), juga menunjukkan peningkatan, dari 6,6 persen (yoy) pada Oktober 2019 menjadi 10,5 persen (yoy) pada November 2019, hal itu dipengaruhi oleh peningkatan uang kartal dan giro rupiah.

Sementara itu, komponen uang kuasi dan surat berharga selain saham tumbuh melambat. Hal itu disebabkan oleh faktor peningkatan M2 pada November 2019, yakni peningkatan pertumbuhan aktiva luar negeri bersih, ekspansi operasi keuangan pemerintah, serta akselerasi penyaluran kredit.

Bank Indonesia menyatakan, pertumbuhan aktiva luar negeri bersih tercatat meningkat, dari 2,0 persen (yoy) pada Oktober 2019 menjadi 4,6 persen (yoy).

Selain itu, operasi keuangan pemerintah juga tercatat ekspansi sebesar 2,4 persen (yoy), berbalik arah dari pertumbuhan pada bulan sebelumnya yang mengalami kontraksi sebesar -10,0 persen (yoy).

Ekspansi tersebut sejalan dengan peningkatan tagihan sistem moneter kepada Pemerintah Pusat, yang diikuti dengan perlambatan kewajiban terhadap Pemerintah Pusat.

Kendati begitu, penyaluran kredit yang tumbuh meningkat, sebesar 7,0 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 6,6 persen (yoy), turut mendorong peningkatan uang beredar.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Survei BI: Inflasi Desember 0,55 Persen, Terendah dalam 5 Tahun Terakhir

Inflasi
Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Survei Pemantauan Harga (SPH) yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada minggu keempat Desember 2019 menunjukan angka inflasi sebesar 0,55 persen secara month to month (mtm). Sementara secara tahunan inflasi tercatat sebesar 2,93 persen.

Gubernur BI, Perry Warjioyo menyebutkan angka inflasi kali ini lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya dimana akhir tahun merupakan momen terjadi lonjakan harga sebab ada hari raya dan menjelang tahun baru. Namun rupanya inflasi dapat terkendali.

"Jadi seperti kami sampaikan, ini di bawah rata-rata historis 5 tahun yang 0,58 persen. Dan Alhamdulillah ini di bawah 3 persen. Karena perkiraan kami sebelumnya 3,1 persen," kata dia , di Mesjid BI, Jakarta, Jumat (27/12).  

Perry menegaskan, inflasi kali ini disumbang oleh tarif angkutan udara yakni sebesar 0,07 persen. Diikuti oleh telur ayam sebesar 0,08 persen, bawang merah 0,08 persen.

Namun, ada beberapa komoditi yang justru menyubang deflasi. Yaitu beberapa jenis cabai.

"Sementara yang deflasi cabe merah 0,05 persen, cabe rawit 0,02 persen," tutupnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com 


Realisasi Inflasi Oktober 2019 di Bawah Estimasi BI

BPS Sebut Inflasi Januari-November 2019 Turun
Seorang ibu membeli kebutuhan pokok di pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (2/12/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi sepanjang Januari-November 2019 sebesar 2,37 persen, lebih kecil ketimbang periode yang sama tahun lalu sebesar 2,50 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Survei Pemantauan Harga (SPH) yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukan inflasi bulan Oktober 2019 disumbang oleh daging ayam ras. Hal itu disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, di Mesjid Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat (1/11).

"(Inflasi) dari BPS malah lebih rendah dari estimasi Bank Indonesia. Kalau BPS inflasinya 0.02 persen mtm," kata dia.

Sementara itu, secara tahunan atau year on year (yoy) inflasi masih berada pada angka 3,13 persen.

"Sumber-sumbernya sih hampir sama seperti daging ayam ras dan seterusnya dalam konteks yang memang lebih tinggi dari SPH kami, begitu juga untuk yang rumah tinggal," ujarnya.

Sementara itu, beberapa komoditi lainnya ada yang deflasi yaitu cabai. Hal ini kata dia, menunjukan bahwa daya beli masyarakat masih terjaga.

"Tapi intinya dari situ bahwa inflasi rendah dan tterkendali dan ini mendukung terjaganya daya beli masyarakat dengan harga-harga yang terkendali ini," ujarnya.

Oleh karena itu, dia optimis inflasi di akhir tahun masih akan sesuai target. "Juga mengkonfirmasi perkiraan Bank Indonesia pada akhir tahun ini insya Allah inflasi akan di bawah titik tengah sasaran 3,5 persen," tutupnya.

Sebelumnya, harga daging ayam di Pasar Ciputat, Tangerang Selatan terpantau naik sebesar Rp3.000 dari harga Rp20.000 per kilogram (kg) menjadi Rp23.000 per kg.Salah satu penjual daging ayam, Abe mengatakan, harga tersebut naik terpengaruh oleh kurangnya air sehingga biaya produksi dinaikkan. Sementara itu, dari sisi pasokan, Abe mengaku pasokan ayam masih mencukupi.

Pedagang berharap harga ayam bisa turun lagi agar penjualan di pasaran laku, dan konsumen tidak merasa keberatan.

"Kalo lagi naik kita kadang rugi soalnya yang minat dikit. Ya kita mau turun saja lah itu harga ayam tidak usah naik-naik lagi," kata Abe saat diwawancarai Merdeka.com, Kamis (31/10). 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya