Nilai Tukar Petani Naik 0,35 Persen di Desember 2019

Nilai Tukar Petani Provinsi Papua Barat mengalami penurunan terbesar (1,08 persen) dibandingkan penurunan NTP provinsi Iainnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jan 2020, 18:30 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2020, 18:30 WIB
Melihat Petani Kulon Progo Panen Padi Menggunakan Mesin
Petani memanen padi jenis IR 54 menggunakan mesin produk China di Galuh, Kulon Progo, Yogyakarta, Kamis (2/2/2020). Mesin yang disewa seharga Rp 500 ribu untuk memanen padi seluas 1.400 meter persegi itu mengefisienkan waktu, tenaga, dan modal dibandingkan tenaga manusia. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto menyebutkan Nilai Tukar Petani (NTP) NTP nasional Desember 2019 sebesar 104,46. Angka tersebut naik 0,35 persen dibanding NTP bulan sebelumnya.

Dia mengungkapkan kenaikan NTP dikarenakan Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,59 persen, lebih besar dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,24 persen.

"Pada Desember 2019, NTP Provinsi Riau mengalami kenaikan tertinggi (2,65 persen) dibandingkan kenaikan NTP provinsi Iainnya," kata dia, di kantornya, Jakarta, Kamis (2/1).

Sebaliknya, NTP Provinsi Papua Barat mengalami penurunan terbesar (1,08 persen) dibandingkan penurunan NTP provinsi Iainnya.

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (lb).

NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

BPS juga mencatat pada Desember 2019 terjadi inflasi perdesaan di Indonesia sebesar 0,28 persen disebabkan oleh haiknya indeks di seluruh kelompok penyusun Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT), terutama Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau.

Sementara itu, Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional Desember 2019 sebesar 114,04 atau naik 0,43 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Nilai Tukar Petani Turun, Kementan: Hati-Hati Dalam Menggunakan Data

Musim Kemarau, Harga Gabah Petani Alami Kenaikan
Petani memisahkan bulir padi dari tangkainya saat panen di sawah yang terletak di belakang PLTU Labuan, Pandeglang, Banten, Minggu (4/8/2019). Kurangnya pasokan beras dari petani akibat musim kemarau menyebabkan harga gabah naik. (merdeka.com/Arie Basuki)

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Nilai Tukar Petani (NTP) untuk bulan Maret 2019. Dalam rilisnya, BPS menyebut NTP pada bulan itu hanya sebesar 102,73. Angka ini turun 0,21 persen jika dibanding bulan Februari 2019 yang mencapai sebesar 102,94.

Perkembangan NTP ini belakangan muncul di berbagai media sosial yang diulas oleh sejumlah analisa. Meski demikian, jika dicermati dengan baik, ada dua ketidaktepatan yang paling mendasar, yang seringkali terjadi dalam analisis atau interpretasi dari indikator ekonomi daya beli kesejahteraan petani yang direpresentasikan oleh NTP tersebut.

Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan) Ketut Kariyasa menjelaskan, jika seseorang atau lembaga tertentu membandingkan NTP dengan tahun maupun antar periode berbeda, maka hasil hitungan ya bisa dikatakan tidak sah.

Kariyasa mengatakan, data NTP BPS tahun 2013 yang dirilis menggunakan tahun dasar 2007 adalah contoh perbedaan yang ada. Terlebih mulai tahun 2014 sampai sekarang mereka tetap menggunakan tahun dasar 2012. Dengan demikian, penghitungan itu harus berhati-hati karena menggunakan tahun dasar yang berbeda.

"Pernah ada tulisan yang langsung membandingkan NTP dengan tahun dasar yang berbeda tersebut, dan mengklaim bahwa NTP pada periode 2015-2018 lebih rendah dibanding tahun 2010-2014, dan ini jelas keliru karena masih menggunakan tahun dasar yang berbeda," kata Kariyasa, Selasa (2/4).

Namun, kata dia, jika kondisi ini dinormalkan dengan menggunakan tahun dasar yang sama, maka hasil NTP periode 2015-2018 hasilnya justru lebih tinggi dari periode 2010-2014. Dengan begitu, daya beli petani (NTP) semakin baik pada 4 tahun terakhir.

"Sekali lagi, membandingkan dan menginterpretasikan NTP pada tahun atau periode tertentu tinggi atau lebih rendah dari dari tahun atau periode sebelumnya, jika masih menggunakan tahun dasar yang berbeda bisa pastikan tidak sah hasilnya," katanya

Ketidaktepatan kedua, masih kata Kariyasa, data NTP seringkali dibandingkan antar bulan. Misalnya NTP pada bulan Maret 2019 yang dibandingkan dengan NTP pada bulan Februari 2019. Situasi itu jelas berbeda karena dipengaruhi berbagai faktor.

"Misalnya untuk NTP tanaman pangan. Kan bisa saja kondisinya dipengaruhi dampak musim sehingga tidak relevan dan kurang tepat jika membandingkan NTP dengan bulan yang berbeda. Tapi, sebaiknya, perbandingan ini dilakukan dengab bulan yang sama atau dengan musim yang sama dengan pada tahun sebelumnya," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya