Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menyatakan, skandal yang menimpa Jiwasraya memiliki risiko sistemik karena perusahaan ini adalah perusahaan besar. Oleh karenanya, pemeriksaan kasus ini dilakukan dengan hati-hati dan tidak terbuka.
"Skala kasus ini sangat besar. Kondisi kita harus hati-hati dalam menentukan kebijakan, karena ini kasus besar dan gigantik dan memiliki risiko sistemik," tutur Agung di Gedung BPK, Rabu (8/1/2020).
Risiko sistemik tidak hanya diukur dari nilai aset saja, melainkan ke hal-hal lain seperti nilai buku perusahaan. Dan juga, dampak bagi masyarakat dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan asuransi.
Advertisement
Jaksa Agung Burhanuddin juga mengungkapkan telah menggeledah 13 obyek terkait Jiwasrayadan dilakukan secara silent (diam-diam) karena pihaknya tidak ingin terlalu terbuka.
"Tolong beri kesempatan ya. Transaksi yang terjadi itu hampir 5 ribu lebih dan itu butuh waktu dan saya tidak ingin gegabah," ungkapnya.
Diketahui, Jiwasraya melakukan investasi kepada saham-saham dengan kualitas rendah atau saham gorengan dari hasil penjualan produk Saving Plan mereka.
Saat ini, BPK dan Kejaksaan Agung masih memeriksa potensi kerugian negara dan siapa pelaku dibalik kasus ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BPK: Jiwasraya Manipulasi Laporan Keuangan dari Rugi Jadi Laba di 2006
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan perusahaan asuransi Jiwasraya pernah mencatatkan laba pada 2006. Namun demikian, ternyata laba tersebut hanyalah laba semu alias laporan keuangan dimanipulasi dari rugi menjadi untung.
"Pada tahun 2006, Jiwasraya mencatatkan laba, tapi itu laba semu karena akibat rekayasa akuntansi," ujar Agung di Gedung BPK, Rabu (8/1/2020).
Lebih lanjut, pada 2017 perusahaan mencatatkan laba sebesar Rp 360,6 miliar. Namun, perseroan mendapatkan opini kurang wajar karena adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun.
Setelah itu, pada 2018 BPK mengungkapkan bahwa Jiwasraya rugi Rp 15,3 triliun. Hingga November 2019, Jiwasraya memiliki negatif equity sebesar Rp 27,2 triliun.
Hasil penjualan produk saving plan sejak 2015 diinvestasikan ke saham perusahaan yang memiliki kinerja kurang baik, sehingga menyebabkan gagal bayar.
"Dana dari saving plan diinvestasikan ke saham dan reksa dana berkualitas rendah, sehingga berujung gagal bayar," tutur Agung.
Advertisement