Liputan6.com, Jakarta - Kondisi ekonomi global masih dihantui ketidakpastian meskipun resikonya semakin melemah karena hubungan dua kekuatan besar ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, menunjukkan arah yang lebih baik.
Resikonya semakin melemah karena hubungan dua kekuatan besar ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, menunjukkan arah yang lebih baik.
Meski demikian, pakar ekonomi menyatakan agar seluruh pihak, baik pemerintah, investor, pelaku usaha hingga masyarakat harus berhati-hati dengan adanya 'black swan'.
Advertisement
Ekonom sekaligus Komisaris Independen BCA Raden Pardede menyatakan, kondisi ekonomi dunia memang tidak menuju resesi namun mengalami pertumbuhan yang melambat. Salah satu faktornya ialah adanya ledakan black swan.
"Teori black swan itu peristiwa langka yang sulit diprediksi, namun saat terjadi akan berdampak besar dan di luar perkiraan umum. Itu tiba-tiba saja," ujar Raden di Wisma Antara, Jumat (31/1/2020).
Contoh ledakan black swan itu antara lain merebaknya virus corona yang tiba-tiba muncul dan membuat aktivitas warga Wuhan, China mendadak lumpuh. Bahkan, Raden memperkirakan virus corona bakal membawa dampak penurunan ekonomi dunia hingga 0,5 persen jika tidak ditangani.
"Itu karena mereka tidak melakukan kegiatan, tidak bekerja, tidak melakukan mobilitas. Ini kan tiba-tiba sekali, tidak diduga-duga," imbuhnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Harus Waspada
Senada dengan Raden, Director, Chief Economist and Head of Research Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menyatakan virus corona yang tiba-tiba mewabah harus diwaspadai oleh Indonesia.
"Ini kita harus hati-hati ya, karena kemarin Ibu Menkeu juga sudah bilang corona akan berdampak pada APBN," ujar Lana.
Selain corona, ada pula ketegangan geopolitik yang sedang dialami negara adidaya AS dengan Iran, dimana beberapa waktu lalu, jenderal besar Iran Qassem Solaemani dibunuh oleh tentara AS dan dilakukan di bawah perintah Presiden AS Donald Trump.
Hubungan kedua negara tentu memanas. Kemudian, ada pula Brexit (British Exit), adanya disrupsi teknologi, the volfefe index (indeks yang menghitung dampak cuitan Trump di Twitter terhadap volatilitas dan sentimen pasar AS) hingga kasus Jiwasraya.
Advertisement