Industri Alkohol Bakal Dicoret dari Daftar Negatif Investasi?

Jika industri alkohol ditutup maka industri tersebut tidak bisa berkembang dan berdampak kepada ketergantungan terhadap impor.

oleh Tira Santia diperbarui 18 Feb 2020, 12:20 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2020, 12:20 WIB
Minuman Beralkohol Vodka
Ilustrasi Foto Minuman Keras Vodka (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot, mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang mengkaji pelarangan investasi alkohol, yang menyebabkan ketergantungan impor. 

Padahal industri sangat membutuhkan alkohol sebagai bahan baku itu sangat tinggi, yakni untuk industri farmasi, industri kosmetik, dan bahan bakar bioetanol.

"Industri alkohol kami tutup di DNI (Daftar Negatif Investasi) padahal dibutuhkan. Untuk alkohol kita butuhkan untuk industri kesehatan, farmasi, industri kosmetik dan juga di industri lain, itu untuk bahan bakar metanol kan kita butuhkan juga untuk industri bahan bakar bioetanol," jelas dia seperti ditulis, Selasa (18/2/2020).

Menurutnya, jika industri ini sudah tutup berarti industri ini tidak bisa berkembang, sehingga memungkinkan ketergantungan terhadap impor semakin tinggi.

Begitu pun termasuk dengan minuman beralkohol, yang menurutnya tak ditutup sebab dalam aturan tata niaganya pembatasan minuman alkohol sudah dilakukan. “kita lakukan pembatasan jadi ini yang kita lihat pembatasan-pembatasan ini sudah cukup juga,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa pemerintah akan mencoret 14 sektor keluar dari DNI. Meskipun hal itu belum terlaksana, saat ini masih terdapat 20 sektor yang masuk dalam DNI itu.

Bahlil menyatakan bahwa rencananya Presiden Joko Widodo akan merilis daftar 14 sektor tersebut melalui Peraturan Presiden (Perpres). Sehingga nantinya aturan ini, akan menggantikan Perpres Nomor 44 Tahun 2016, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup, dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau DNI.

Kendati begitu, Bahlil masih belum bisa menyebutkan secara konkret sektor apa saja yang nanti akan dibuka bagi investor asing.

Jokowi Akan Cabut Relaksasi Daftar Negatif Investasi

Jokowi Pimpin Rapat Terbatas
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Rapat terbatas perdana dengan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju itu mengangkat topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Perekonomian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden Jokowi berencana mencabut kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dari paket kebijakan ekonomi ke-16.

Menurut Jokowi, hal ini menyusul adanya keluhan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).

‎"‎Sudah disampaikan oleh Kepala Kadin, sudah disampaikan Ketua HIPMI, yang komplain masalah itu. Barangnya itu belum sampai ke Istana, Perpresnya belum saya tandatangani, ‎jadi enggak perlu ragu, saya pastikan akan saya keluarkan relaksasi DNI, sudah saya putuskan di sini," kata Jokowi dalam acara penutupan Rakornas Kadin di Hotel Alila, Solo, Jawa Tengah, Kamis (28/11/2018).

"Kalau sudah Ketua Kadin dan Ketua HIPMI sudah ngomong, aspirasi mana lagi yang perlu saya dengar," ucap dia.

Jokowi pun memastikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga dan memelihara pertumbuhan UMKM di Indonesia.

Sebab, kata Jokowi, kontribusi UMKM terhadap ekonomi Indonesia sangat signifikan. Ia mengungkapkan bahwa 62 juta unit UMKM telah mempekerjakan sebanyak 116 juta orang, dengan kata lain 80 persen tenaga kerja Indonesia berada di sektor UMKM.

‎"Saya ini alumni UMKM, keluarga saya juga masuk dalam kategori UMKM, anak-anak saya juga kategori UMKM. Jualan martabak, jualan pisang, usaha mikro, kecil. Mayoritas usaha Indonesia adalah UMKM, jangan meragukan komitmen saya dalam UMKM," terang Jokowi.

Keberpihakan pemerintah terhadap UMKM, kata Jokowi, juga tecermin dari penurunan bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 24 persen menjadi 7 persen dan telah memangkas pajak penghasilan dari 1 persen menjadi 0,5 persen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya