Penetrasi Teknologi Digital di Indonesia Tinggi, BI Ingatkan Risiko Shadow Banking

Masifnya perkembangan digitalisasi di Tanah Air juga turut didukung oleh akses teknologi yang secara harga semakin terjangkau.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 04 Mar 2020, 19:30 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2020, 19:30 WIB
[Fimela] Milenial dan Bisnis
Ilustrasi milenial terjun ke dunia bisnis | pexels.com/@hillaryfox

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Filianingsih Hendarta mengatakan, struktur demografi Indonesia yang didominasi generasi milenial kelahiran 1977-1995 (Gen Y) sebesar 59 persen memiliki banyak keuntungan. Salah satunya memungkinkan pengadopsian teknologi digital dengan sangat cepat.

"Penetrasi digital di Indonesia berjalan dengan sangat masif. Tampak dari data yang menunjukan Indonesia sebagai penguna internet terbesar keempat di dunia dengan total 171,26 juta penduduk, atau 63,54 persen dari total penduduk," jelasnya Komplek Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (4/3/2020).

Berdasarkan catatannya, Indonesia duduk di peringkat empat negara dengan jumlah pengguna internet terbesar. Di bawah China dengan sekitar 845 juta penduduk, India dengan 560 juta penduduk, dan Amerika Serikat (AS) sekitar 293 juta penduduk.

Filianingsih melanjutkan, masifnya perkembangan digitalisasi di Tanah Air juga turut didukung oleh akses teknologi yang secara harga semakin terjangkau, sehingga memungkinkan meningkatnya partisipasi masyarakat yang selama ini tidak terjangkau layanan yang bersifat konvensional.

 

Risiko

Ilustrasi Generasi Milenial (iStockphoto)
Generasi Milenial Tidak Menyadari Bahwa Masalah Kesehatan Tengah Mengintai Mereka Gara-gara Kebiasaan Buruk yang Mereka Kerjakan (Ilustrasi/iStockphoto)

Namun begitu, ia mengingatkan, perkembangan teknologi digital selain memberi banyak manfaat juga ikut membawa konsekuensi risiko yang perlu diantisipasi.

Risiko tersebut antara lain berupa meningkatnya aktivitas shadow banking oleh pelaku non-bank, derasnya impor khususnya barang konsumsi, risiko siber, munculnya jenis fraud baru, hingga penyalahgunaan data konsumen.

"Eskalasi terhadap risiko tersebut pada gilirannya berpotensi menganggu stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan kelancaran sistem pembayaran yang menjadi mandat utama Bank Indonesia," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya