Petani Tebu Tolak Usulan Impor Gula Konsumsi

Kebijakan impor dikhawatirkan akan mengancam penjualan gula petani.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Mar 2020, 13:30 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2020, 13:30 WIB
Petani Tebu
Seorang petani membawa tebu untuk dijual di pabrik gula di Modinagar di Ghaziabad, New Delhi, (31/1). Pemerintah India akan fokus pada sektor pertanian dalam anggaran tahunannya yang dirilis pada 1 Februari. (AFP Photo/Prakash Singh)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menolak usulan impor gula. Hal tersebut dinilai menjadi ancaman bagi gula produksi petani tebu lokal.

Seperti diketahui, usulan impor gula berasal dari Perum Bulog sebesar 200 ribu ton. Selain itu juga dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan) yang mengusulkan impor gula pasir konsumsi atau Gula Kristal Putih (GKP) sebesar 130 ribu ton.

Ketua Umum Dewan Pimpinan APTRI Soemitro Samadikoen menyatakan, kebijakan impor gula akan mengancam penjualan gula petani. Dengan adanya impor, harga gula petani lokal akan jatuh.

Terlebih, sebentar lagi akan memasuki musim giling tebu 2020. Pada Maret ini, akan ada proses giling di Sumatera Utara dan April di Lampung serta pada Mei di jawa dan Sulawesi Selatan.

"Jadi tidak mungkin petani menikmati kenaikan harga jika pasarnya dibajiri gula impor. Kebijakan kita tidak fokus pada peningkatan produksi dan kesejahteraan petani," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (5/3/2020).

Menurut Soemitro, impor gula baru bisa diajukan jika terjadi kondisi tertentu. Pertama, adanya kelangkaan. Kedua, jika terjadi lonjakan harga yang sangat tinggi. Dan ketiga untuk bufferstock.

"Ketiganya tidak terjadi saat ini. Impor itu jangan untuk cari untung. Tapi untuk mengatasi persoalan tersebut," ungkap dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Stok Gula

gula-pasir
Pekerja tengah menata gula pasir di Gudang Bulog Jakarta, Selasa (14/2). Kemendag menyatakan, penetapan harga eceran tertinggi (HET) gula kristal putih sebesar Rp12.500 per kilogram akan dilakukan pada bulan Maret 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Soemitro menyatakan, stok gula petani saat ini masih berada dikisaran 700 ribu ton. Untuk stok awal 2018, karena ada impor gula kristal putih (GKP) sebesaer 1.150.000 ton.

"Stok itu tidak habis sampai 2019. Tapi pemerintah bilang sudah habis. Belum lagi impor gula rafinasi itu tidak 100 persen terserap industry makanan minuman. Sebagian bocor ke pasaran. Semua iu terus terakumulasi dan tidak pernah diakui pemerintah," jelas dia.

Sementara itu, Sekretaris DPN APTRI M. Nur Khabsyin mengungkapkan, selain keberatan soal impor gula, pihaknya juga mengusulan kepada pemerintah terkait harga patokan petani (HPP) gula.

DPN APTRI telah menerima masukan dari petani tebu dan melakukan perhitungan besaran HPP berdasarkan biaya pokok produksi. Pada tahun ini ada kenaikan biaya pokok produksi diantaranya adalah biaya garap atau upah tenaga kerja yang cukup signifikan.

Oleh sebab itu, DPN APTRI mengusulkan HPP untuk tahun 2020 sebesar Rp 12.025 per kg atau dibulatkan Rp 12.000 per kg.

"Saat ini APTRI menuntut pemerintah segera menentukan harga patokan gula petani (HPP). Penetapan HPP aakan memberikan jaminan bagi petani. DPN APTRI mengusulkan HPP untuk tahun 2020 sebesar Rp 12.025 per kg atau dibulatkan Rp 12 ribu per kg," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya