Harga Minyak Anjlok, Beban Pertamina Jadi Turun

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, impor minyak Indonesia masih cukup besar.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 09 Mar 2020, 13:40 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2020, 13:40 WIB
lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, impor minyak Indonesia masih cukup besar. Dengan adanya penurunan harga minyak ini akan membuat beban impor menjadi lebih ringan. 

"Kita tentu akan lihat dari berbagai aspek, kalau kita selama impor minyak kita cukup besar, ya berarti penurunan harga minyak menjadi sesuatu yang bisa menjadikan penurunan beban dari Pertamina untuk mengimpor dan yang lain-lain," ujarnya, Senin (9/3/2020).

Ditemui usai lantik pejabat Eselon II dan Eselon III di Aula Mezzanine Kementerian Keuangan Jakarta, Sri mulyani menyatakan belum bisa mengetahui dengan pasti apakah penurunan harga minyak yang terjadi saat ini akan berlangsung dalam waktu jangka pendek atau untuk waktu yang lebih panjang.

"Saya harap nanti akan terlihat di dalam neraca Pertamina. Dari sisi harga minyak, apakah ini akan dalam waktu jangka pendek dalam artian hanya bulan ataukah ini adalah untuk agak lebih panjang, yaitu kuartal atau semester. Itu masih akan dilihat bagaimana reaksi dari Rusia terhadap langkah yang dilakukan oleh saudi," jelasnya.

Selanjutnya, Sri mulyani menambahkan selama ini Indonesia menghadapi harga yang melemah, kemudian volume juga menurun karena ekspor maupun produksi juga menurun dan juga dari sisi nilai tukar.

"Kalau nilai tukar sekarang dalam situasi yang lebih mendekati asumsi. Ya kita akan lihat pengaruhnya terhadap APBN dalam satu tahun ini nanti, dan sekaligus juga untuk membuat proyeksi untuk 2021," pungkasnya.

Harga Minyak Dunia Anjlok 30 Persen, Diprediksi Bisa ke Level USD 20 per Barel

Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Untuk diketahui, Harga minyak mentah dunia anjlok 30 persen dipicu kegagalan OPEC mencapai kesepakatan dengan sekutunya mengenai pengurangan produksi. Ini menyebabkan Arab Saudi memangkas harga karena dilaporkan akan bersiap meningkatkan produksi, dan memicu kekhawatiran bakal terjadinya perang harga.

Melansir laman CNBC, Senin (9/3/2020), harga minyak mentah berjangka Brent anjlok 30 persen menjadi USD 31,02 per barel, level terendah sejak Februari 2016.

Sementara harga minyak mentah AS West Texas Intermediate turun 27 persen menjadi USD 30 per barel, level terendah sejak Februari 2016. Harga minyak WTI berada di jalur terburuk harian sejak Januari 1991 selama Perang Teluk.

 

 

 

"Ini menjadi pendekatan drastis dari Arab Saudi, khususnya untuk menangani masalah kelebihan produksi yang kronis," kata John Kilduff dari Capital Again.

Usai sempat turun di awal, kerugian sedikit berkurang. Brent diperdagangkan 24,59 persen lebih rendah menjadi USD 34,14 per barel dan minyak mentah berjangka AS  lebih rendah 25,61 persen menjadi USD 30,71 per barel.

Pada Sabtu pekan lalu, Arab Saudi mengumumkan diskon besar-besaran harga jual minyaknya untuk April. Negara itu juga dilaporkan bersiap untuk meningkatkan produksinya di atas angka 10 juta barel per hari.

Saudi kini memompa produksi 9,7 juta barel per hari, tetapi memiliki kapasitas untuk meningkatkan hingga 12,5 juta barel per hari.

"Kami melihat perang harga minyak OPEC dan Rusia dimulai akhir pekan ini, ketika Arab Saudi secara agresif memotong harga, di mana ia menjual minyak mentahnya paling banyak dalam setidaknya 20 tahun," kata Analis Goldman Sachs, Damien Courvalin dalam catatannya.

"Prognosis untuk pasar minyak bahkan lebih mengerikan daripada pada November 2014, ketika perang harga seperti itu dimulai. Di mana, kejatuhan permintaan minyak yang signifikan juga karena Virus Corona," tambah dia.

Goldman memangkas prediksi harga minyak Brent pada kuartal kedua dan ketiga menjadi USD 30 per barel, dan harga bisa turun ke posisi USD 20-an.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya