Penerimaan Negara Diprediksi Susut 10 Persen Terimbas Corona Covid-19

Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintah dilakukan sebagai stimulus mengurangi dampak covid-19 ke perekonomian.

oleh Nurmayanti diperbarui 01 Apr 2020, 11:13 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2020, 11:13 WIB
Ilustrasi APBN
Ilustrasi APBN

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, memperkirakan pendapatan negara akan terkoreksi turun hingga 10 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Penurunan ini terjadi akibat dampak Virus Corona atau Covid-19 yang membuat kegiatan ekonomi domestik tertekan.

"Dalam antisipasi kondisi ekonomi turun tajam, penerimaan negara diperkirakan turun 10 persen. Negative growth," kata Menteri Sri Mulyani dalam video conference di Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Sri Mulyani menjelaskan penurunan pendapatan negara terjadi seiring turunnya pendapatan pajak, bea dan cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Menurutnya, penurunan penerimaan pajak tak hanya disebabkan menurunnya aktivitas ekonomi tetapi juga karena dukungan insentif pajak.

Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) oleh pemerintah dilakukan sebagai stimulus mengurangi dampak covid-19 ke perekonomian.

"Sementara PNBP turun dampak jatuhnya harga komoditas. Harga minyak kemarin turun di bawah USD20 per barel. Saat ini sedang dilakukan upaya sangat serius, namun harga minyak sangat rendah. Asumsi kita di kisaran USD60 per barel," ungkapnya.

Di sisi belanja, pemerintah fokus untuk kesehatan, perlindungan sosial (social safety net), dan membantu dunia usaha dengan total Rp255,1 triliun. Meski begitu pemerintah melakukan penghematan belanja negara sekitar Rp190 triliun dan realokasi cadangan Rp54,6 triliun.

Selain itu, pemerintah mengalokasikan dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan covid-19 sebesar Rp150 triliun. Dukungan pembiayaan ini dilakukan dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional setelah berakhirnya pandemi corona di Indonesia.

"Dari sisi pendapatan negara turun 10 persen, dari sisi belanja tambahan Rp255 triliun dan pembiayaan tambahan Rp150 triliun, maka postur APBN 2020 diperkirakan akan defisit mencapai 5,07 persen dari PDB," pungkas dia.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Skenario Terburuk Dampak Corona, Ekonomi Indonesia Tumbuh Negatif 0,4 Persen

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi 2
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal berada di kisaran 2,3 persen. Bahkan skenario terburuknya bisa menyentuh negatif 0,4 persen.

Skenario terburuk itu bisa terjadi jika pandemi virus corona atau Covid-19 terus berlangsung dalam jangka panjang. Dengan demikian secara otomatis akan menghantam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Kami, Bank Indonesia, LPS, OJK memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun 2,3 pesen bahkan bisa negatif 0,4 persen," kata menteri Sri Mulyani dalam video conference di Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Menteri Sri Mulyani mengatakan penyebaran Virus Corona yang masif di Indonesia membuat penurunan pada kegiatan ekonomi.

Itu terjadi pada berbagai sektor lembaga keuangan di Indonesia seperti perbankan hingga konsumsi rumah tangga yang menurun. "Konsumsi rumah tangga turun, bisa mencapai 2,60 persen, investasi juga turun" kata dia.

Di sektor konsumsi rumah tangga terjadi ancaman kehilangan pendapatan masyarakat karena tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terutama rumah tangga miskin dan rentan serta sektor informal.

Kemudian, penurunan lainnya juga terjadi pada UMKM. Pelaku usaha ini tidak dapat melakukan kegiatan usahanya sehingga terganggu kemampuan memenuhi kewajiban kredit.

"Sehingga kondisi itu membuat NPL kredit perbankan untuk UMKM dapat meningkat secara signifikan. Sehingga berpotensi semakin memperburuk kondisi perekonomian," katanya.

Bendahara negara ini menambahkan pelemahan perekonomian juga berdampak ke sektor korporasi dan sektor keuangan lainnya.

Sektor korporasi terganggu aktivitas ekonominya yang paling rentan yakni di bidang manufaktur, perdagangan, dan transportasi.

"Gangguan aktivitas bisnis tersebut akan menurunkan kinerja bisnis sehingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja dan bahkan mengalami ancaman kebangkrutan," katanya.

Selanjutnya yang terjadi di sektor perbankan dan perusahaan pembiayaan berpotensi mengalami persoalan likuiditas. Sehingga menyebabkan depresiasi rupiah volatilitas pasar keuangan dan capital flight.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya