Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Corona menghantam seluruh sektor bisnis termasuk minyak dan gas (migas). Penerapan protokol kesehatan menyebabkan kegiatan di hulu migas yang sebagian besar bersifat fisik dan observasi ke lapangan menjadi terbatas.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto membeberkan beberapa hambatan yang dihadapi sektor usaha migas terutama dalam kegiatan hulu.
Baca Juga
"Yang pertama adalah laju transportasi material yang lebih lama, khususnya pengiriman dari luar negeri," kata Dwi saat rapat virtual dengan Komisi VII DPR, Selasa (28/4/2020).
Advertisement
Selain itu, produktivitas teknisi dan tenaga konstruksi menjadi lebih rendah karena adanya penerapan work from home (WFH), ditambah dengan jumlah personel yang dibolehkan di lokasi proyek dibatasi. Inspeksi kinerja peralatan dan fasilitas juga lebih lama gegara WFH ini.
"Mobilitas pekerja ke lokasi lebih sulit karena perijinan dan waktu karantina dan potensi overstay yang berisiko pada keselamatan kerja," lanjut Dwi.
Ditambah, persetujuan pengurusan perijinan menjadi lebih lama serta kegiatan manufaktur peralatan migas untuk proyek akan tertunda lebih lama.
Sebagai informasi, SKK Migas menargetkan 11 proyek hulu migas yang akan on stream. Mayoritas proyek merupakan proyek pengembangan lapangan gas. Jumlah proyek ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya ada 9 proyek.
Harga Minyak Jatuh, Pekerja di Sektor Migas Bakal Kena PHK?
Pelaku usaha di sektor industri minyak dan gas (migas) kini tengah dikhawatirkan dengan harga minyak mentah dunia yang kian merosot. Seperti yang terjadi pada harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) acuan West Texas Intermediate (WTI) yang minus USD 37,63 per barel pada perdagangan Senin (20/4/2020).
Harga negatif tersebut belum pernah terjadi sebelumnya untuk kontrak berjangka. Penurunan drastis harga minyak mentah WTI dipicu oleh melemahnya permintaan pasar di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Kendati demikian, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Indonesia Berly Martawardaya menilai, para pelaku usaha di sektor minyak dan gas (migas) masih akan kuat menghadapi kejatuhan harga minyak.
Pernyataan itu diperkuat dengan beberapa indikator seperti produk minyak yang bisa disimpan untuk jangka panjang. Hal itu membuatnya percaya bahwa perusahaan migas tak akan sampai membuat kehebohan seperti melakukan aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
"Dibandingkan sektor-sektor lain, pengusaha sektor migas secara umum yang paling kuat cashflow dan akses to finance-nya. Kan produk mereka bisa disimpan dulu, enggak rusak kayak sayur yang harus dijual dalam waktu singkat," jelas Berly kepada Liputan6.com, Rabu (22/4/2020).
"Jadi saya bilang sih sektor migas relatif aman dari PHK. Pekerja sektor ini juga sedikit karena capital intensif," tegas dia.
Namun, ia memberi catatan, yang jadi masalah bagi sektor migas saat ini adalah terkait penyimpanan. Dengan demikian, Berly memprediksi beberapa pelaku migas akan memilih untuk memangkas produksi minyak seperti yang telah dilakukan Arab Saudi dan Rusia.
"Betul bahwa produk migas bisa disimpan jangka panjang. Tapi dengan produksi berjalan as usual dan konsumsi berkurang maka inventory numpuk. Jadi likely sebagian aktor migas akan kurangi produksi supaya tidak overcapacity," tuturnya.
Advertisement
Harga BBM Bakal Turun Signifikan di Mei 2020?
Anjloknya harga minyak mentah dunia saat ini membuat sejumlah negara menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) lebih dari 50 persen. Namun hal tersebut tak berlaku di Indonesia, dimana harga BBM belum kunjung turun sejak awal Februari 2020.
Sejumlah pihak menuding, itu terjadi lantaran keluarnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 62K/MEM/2020 yang diteken pada 28 Februari 2020 dan berlaku per 1 Maret 2020.
Dalam aturan baru ini, penentuan harga BBM bergantung pada harga produk minyak hasil kilang di Singapura (Mean of Platts Singapore/MOPS) atau acuan Argus, dimana perhitungannya menggunakan rata-rata harga publikasi dua bulan ke belakang untuk penetapan harga BBM di bulan berjalan.
Mengacu pada formulasi tersebut, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Indonesia Berly Martawardaya menduga harga BBM di Indonesia baru akan turun signifikan pada Mei 2020.
"Berarti kalau pake rumus ini maka bulan depan akan turun signifikan," ujar Berly kepada Liputan6.com, Rabu (22/4/2020).
Sebagai perbandingan, Berly memaparkan, formula harga jual BBM ketika terakhir kali mengalami penurunan di awal Februari masih berpatok pada Kepmen ESDM lama Nomor 187K/MEM/2019 yang diteken pada 7 Oktober 2019 oleh Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan.