Dampak Corona di Sektor Minerba Belum Terasa di Kuartal I 2020

Tata kelola pertambangan harus beralih dari natural resources capital (hanya mengandalkan SDA) menjadi sustainable growth (disertai pengembangan berkelanjutan).

oleh Athika Rahma diperbarui 29 Apr 2020, 17:10 WIB
Diterbitkan 29 Apr 2020, 17:10 WIB
Ekspor Batu Bara Indonesia Menurun
Aktivitas pekerja menggunakan alat berat saat menurunkan muatan batu bara di Pelabuhan KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Penyebaran wabah virus Corona di Indonesia yang semakin meningkat diprediksi memukul sektor mineral dan batu bara (minerba) dalam jangka panjang.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Sektor Minerba Irwandy Arif menyatakan, pengaruh Corona belum begitu menjatuhkan lini bisnis sektor mineral dan batu bara di kuartal I 2020, namun berpotensi berbahaya di kuartal selanjutnya.

"Pengaruh covid-19 ini belum terlalu kelihatan di kuartal I 2020, periode Januari-Maret, kami punya datanya untuk membuktikan pernyataan ini. Nah, yang akan sedikit was-was adalah bagaimana nasib di 3 kuartal yang akan datang," kata Irwandy dalam diskusi virtual, Rabu (29/4/2020).

Lebih lanjut, penyebab menurunnya kinerja sektor minerba setidaknya disebabkan oleh 2 hal, yaitu kegagalan pasar dan kegagalan kebijakan.

Kegagalan pasar sendiri adalah kondisi permintaan dan penawaran yang tidak sejajar. Dirinya membandingkan dengan harga minyak dunia yang saat ini anjlok gegara Corona karena mobilitas di sektor transportasi dan manufaktur berhenti.

"Sama seperti minyak, sektor minerba juga begitu. Nggak bisa berhenti produksinya, harus dilakukan terus, begitu pasarnya nggak jalan, semua tambang tidak akan berkembang," ujarnya.

 

Kebijakan yang Memperburuk

Tambang batu bara
Aktivitas di tambang batu bara di Lubuk Unen, Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putro)

Sementara faktor kebijakan kegagalan berarti kebijakan atau peraturan pemerintah yang disusun tidak bisa menangani kegagalan pasar tersebut, yang ada hanyalah memperumit dan memperburuk keadaan.

Oleh karenanya, Irwandy menegaskan, tata kelola pertambangan harus beralih dari natural resources capital (hanya mengandalkan SDA) menjadi sustainable growth (disertai pengembangan berkelanjutan).

"Harus ada penemuan dan pengembangan, lalu nilai SDA harus disalurkan ke pemerintah melalui pajak, kemudian nilai yang cukup dari SDA harus masuk dalam pembentukan aset dan pembentukan aset tersebut harus melalui investasi domestik," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya