Liputan6.com, Jakarta - Polemik program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN) masih terus bergulir semenjak diluncurkan pada akhir 2013. Beberapa diantaranya terkait kepesertaan, ketersediaan layanan, dan pembiayaan.
Baru-baru ini, pemerintah kembali menyesuaikan tarif iuran melalui Perpres 64/2020, dimana iuran masing-masing kelas mengalami kenaikan. Namun untuk kelas III, Pemerintah memberikan subsidi sebesar selisih tarif iuran lama dengan tarif iuran baru, sehingga peserta kelas III membayar dengan tarif yang lama (sebelum mengalami kenaikan). Pun tarif iuran bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga tidak mengalami kenaikan.
Alih-alih memberikan keadilan dalam layanan kesehatan masyarakat melalui JKN, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, justru menemukan ketidak adilan dalam implementasinya, dimana masyarakat miskin peserta PBI mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan.
Advertisement
Sebagai contoh, ia menyebutkan bahwa ada salah satu peserta yang sedang ia advokasi, yang merupakan peserta PBI APBD Bekasi yang kesulitan mendapat akses kesehatan ketika melakukan perpindahan domisili.
"Peserta PBI APBD di Bekasi, ketika dia pindah ke Serang, dia nggak boleh pindah Faskes Karena Pemda Bekasi bilang - lah kan ini kami yang biayai, kenapa anda pindah," bebernya dalam webinar BKF, Jumat (29/5/2020).
Timboel membandingkannya dengan layanan bagi peserta mandiri, yang bisa mendapatkan akses ketika melakukan mobilitas domisili.
"Kenapa rakyat miskin tidak (bisa), hanya gara-gara pemerintah daerah membiayai, dia berkunjung ke pemerintah daerah lainnya. Kita bicara masalah NKRI, bukan Pemda ke Pemda," kata dia.
Proses Administrasi
Timboel juga mengungkapkan proses administratif kartu JKN yang relatif lama bagi peserta PBI, sementara bagi peserta mandiri relatif selesai lebih cepat. Bahkan, Timboel menyebutkan banyak peserta PBI yang tidak tahu bahwa mereka terdaftar sebagai peserta JKN karena tidak memiliki kartu dan tidak ada pemberitahuan.
"Ini kan ketidak adilan yang dipertontonkan secara terus menerus oleh pemerintah, sehingga rakyat miskin itu dianggap sebagai orang yang harus tidak sama dengan orang mandiri," ucap dia.
"Nah ini kan persoalan yang JKN terus menerus terjadi yang akhirnya kita terus menerus terjadi," sambung Timboel.
Namun demikian, Teimboel tidak menampik jika memang ada perbaikan dari JKN. Hanya saja, kasus yang selama ini ia temui dalam implementasinya di lapangan masih berkutat pada persoalan yang relatif sama, yakni ketidakadilan akses dan layanan bagi masyarakat miskin.
Advertisement