Maksimalkan Diservisifikasi dengan Pangan Lokal, Mentan: Penyuluh Harus Buat Petani Bersemangat

Penyuluh adalah petugas teknis di lapangan, baik tidaknya pertanian di daerah tergantung penyuluh.

oleh stella maris pada 29 Mei 2020, 16:18 WIB
Diperbarui 29 Mei 2020, 16:21 WIB
sagu
Ilustrasi pangan lokal sagu/pertanian.go.id.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) terus mengampanyekan pemanfaatan pangan lokal kepada petani penyuluh. BPPSDMP juga mengenalkan beragam diversifikasi pangan lokal dalam kegiatan Mentan Sapa Petani dan Penyuluh Pertanian (MSPP), Jumat (29/5).

MSPP kali ini membahas Diversifikasi Pangan Lokal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Dalam kesempatan itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengatakan penyuluh adalah ujung tombak pertanian.

“Penyuluh adalah performance management pertanian, penyuluh itu adalah perilaku petani, penyuluh adalah andalan, Kopasusnya pertanian. Oleh karena itu, penyuluh harus mempunyai kemampuan lebih. Saya akan selalu bersama-sama penyuluh, dan BPPSDMP harus bersama-sama penyuluh,” kata Mentan Syahrul yang sedang melakukan kunjungan kerja ke NTT.

Ditegaskannya, tugas pertanian adalah tugas negara, tugas kebangsaan. Oleh karena itu, membuat pertanian lebih baik adalah tanggung jawab. Sedangkan penyuluh adalah petugas teknis di lapangan, baik tidaknya pertanian di daerah tergantung penyuluh. Karenanya, penyuluh tidak boleh kalah dengan tantangan Covid-19.

“Penyuluh harus membuat petani bersemangat, bergairah. Tapi jangan hanya memberikan petunjuk teknis, tapi melakukan social engineering pertanian. Penyuluh harus melekat terus dengan kami. Penyuluh adalah teman akrab saya,” kata Mentan, yang didampingi Gubernur NTT Victor Laiskodat.

Pangan Lokal Indonesia Melimpah

Sementara Kepala BPPSDMP Kementerian Pertanian, Dedi Nursyamsi, mengatakan pangan lokal adalah produk pangan yang sudah lama diproduksi dan berkembang di masyarakat. Pangan lokal terbuat dari bahan baku lokal, dengan sentuhan teknologi lokal, dan juga pengetahuan lokal.

“Pangan lokal berkaitan erat dengan budaya lokal. Pangan lokal Indonesia kaya karbohidrat dan bisa menjadi pengganti beras. Jenisnya banyak ada ubi kayu, ubi jalar, pisang, jagung, labu kuning, sukun, ganyong, sagu, gembili, empon-empon, umbi garut, talas, gadung, dan masih banyak lagi. Ini yang harus dikembangkan terus,” katanya.

Dedi mengatakan, pangan lokal Indonesia sangat melimpah dan tersedia diseluruh Tanah Air. Setiap daerah pun memiliki pangan lokal sendiri-sendiri, seperti di Papua, Papua Barat, Maluku yang kaya akan sagu dan menjadi pangan utama atau di NTT, Sulawesi, dan Jawa Tengah yang memiliki jagung berkualitas dan melimpah.

“Bukti kekayaan pangan lokal kita bisa dilihat dari sagu. Sagu tidak ditanam tapi tumbuh sendiri, sagu tidak dipelihara tapi dia besar sendiri. Begitu juga singkong. Singkong itu tumbuh dengan mudah dimana-mana. Apalagi kalau tanaman-tanaman itu dipelihara, dipupuk, tanah diolah, pasti hasilnya akan lebih baik lagi,” katanya.

Dijelaskannya, potensi pangan lokal Indonesia luar biasa karena agro ekosistemnya mendukung. Oleh karena itu, komoditas pangan lokal bisa dikembangkan sebagai sumber pangan alternatif maupun pangan utama. Selain itu, pangan lokal mudah dibudidayakan, seperti ubi kayu yang hampir menyebar rata diseluruh Tanah Air.

Salah satu keunggulan pangan lokal adalah bisa diolah terlebih dahulu. Contohnya adalah talas yang bisa dijadikan banyak produk olahan seperti tepung, kue sayur roti biskuit, kripik dan lainnya.

“Contoh lainnya adalah ubi ungu yang banyak sekali manfaatnya. Salah satunya membantu membentuk daya tahan tubuh untuk hadapi Covid-19 karena memiliki antioksidan tinggi. Antioksidan ini juga bisa mencegah penuaan,” terangnya.

Manfaatkan Lahan Pekarangan

Dedi menegaskan, dengan memaksimalkan pangan lokal yang akan menikmati adalah petani Indonesia. Oleh karena pendapatan petani akan bisa meningkat, kesejahteraan pun bisa membaik, begitu juga pedagang yang akan diuntungkan.

“Yang harus kita lakukan sekarang adalah tanam, tanam, dan tanam. Tentu dengan menanam pangan lokal. Tidak perlu khawatir, kita adalah negara tropis, sinar matahari tiap saat ada, iklim mendukung, air berlimpah. Kita bisa tanam setiap saat. Kalau negara lain cuma bisa tanam 1 kali dalam setahun, kita bisa sampai 5 kali, bisa sampai 6 kali,” katanya.

Dedi mengajak agar tidak ada sejengkal tanah yang tidak ditanam, dan jangan ada waktu sedetik untuk tidak tanam. Menurutnya, siapa yang menanam pasti akan panen.

Tidak hanya kepada petani dan penyuluh, Dedi pun mengajak para keluarga untuk memanfaatkan lahan pekarangan. Itu karena dengan memanfaatkan lahan pekarangan untuk menanam pangan lokal, dapat menjadi solusi jangka pendek.

“Ada beberapa cara yang bisa dilakukan di lahan pekarangan, seperti family farming yang bisa menggunakan polybag untuk menanam sayuran kol, umbi-umbian, kacang panjang dan lainnya, atau dengan vertical farming yang bisa dilakukan di lorong gang, di rumah dengan hidroponik dan lainnya, dan urban farming yang bisa dilakukan diperkotaan. Intinya pastikan tanaman mendapat sinar matahari dan air yang cukup,” katanya.

Menurutnya, memanfaatkan pangan lokal harus dilakukan karena Covid-19 telah membuat sistem produksi terganggu, distribusi rontok, pengolahan hasil pun semuanya terganggu. Kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga secara global. Akibatnya, negara eksportir tidak lagi melakukan ekspor.

“Mau tidak mau, kita tidak boleh mengandalkan impor, apalagi impor pangan. Kita harus mampu menyediakan pangan sendiri, harus mandiri pangan, harus memproduksi pangan dari keringat kita sendiri, menyediakan pangan dari petani dan lahan kita sendiri, dan dari komoditas dan pangan lokal,” katanya.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya