Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan ekonomi dunia. Terbaru, Singapura masuk jurang resesi. Tak main-main, pada kuartal II 2020 ekonomi Negeri Singa minus 41,2 persen.
Pada periode sebelumnya atau pada kuartal I 2020, PDB Singapura juga terkontraksi 3,3 persen.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi Singapura bahkan lebih parah dari Jepang. Ekonomi Jepang di kuartal kedua turun lebih dari 20 persen. Negeri Sakura sudah lebih dulu masuk resesi pada Mei lalu. Saat ini, Jepang sudah membuka bisnis kembali, tetapi kasus Corona di Tokyo kembali melonjak.
Advertisement
Kinerja ekonomi Singapura terus melambat sehingga masuk ke jurang resesi setelah pemerintah negara ini menerapkan lockdown parsial, yang diklaim dapat memutus tali penyebaran Covid-19.
Lockdown parsial itu sudah dilakukan sejak April dengan menghentikan aktivitas di tempat kerja kecuali untuk pelayanan publik yang penting dan esensial serta menutup sekolah sementara. Lockdown ini berjalan di kuartal II dan dilonggarkan pada awal Juni.
Dampaknya, tentu saja aktivitas ekonomi dan dunia usaha di Singapura terhantam. Permintaan domestik menurun demikian dengan permintaan global sehingga tidak ada yang dapat dijadikan pijakan agar ekonomi tumbuh.
Sektor pariwisata menjadi korban terdepan dari pandemi Virus Corona (COVID-19). Ini dapat terlihat di sektor penerbangan, perhotelan, dan restoran yang mandeg di tengah wabah.Â
Berdasarkan data GDP Singapura, sektor jasa menyusut 37,7 persen pada kuartal II atau sebesar 13,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Mereka semua terdampak pembatasan travel pada 7 April sampai 1 Juni.
Singapura sendiri sudah menggelontorkan SGD 100 miliar untuk keluar dari resesi di tengah pandemi. Alex Holmes, Ekonom Capital Economist menyatakan, gelontoran stimulus itulah harapan Singapura untuk bisa segera bangkit.
"Kunci optimisme Singapura terletak pada jumlah stimulus yang digelontorkan pemerintah, yang mencapai 20 persen dari GDP," katanya.
Â
Indonesia Menyusul
Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Umar Juoro mengakui jika Indonesia akan terimbas resesi Singapura ini. Pasalnya, Singapura merupakan salah satu mitra dagang dan investor utama di Indonesia.
"Pengaruhnya terhadap Indonesia tentu besar karena Singapura adalah salah satu rekan dagang dan investor utama di Indonesia. Singapura juga ketat mempersyaratkan kerja sama dengan negara lain yang menerapkan standar tertentu dalam penanganan Covid," beber dia kepada Liputan6.com, Rabu (15/7/2020).
Sementara itu, puncak corona virus disease 2019 atau Covid-19 di Indonesia diprediksi terjadi pada Agustus atau September 2020.
Umar menilai, jika puncak pandemi terjadi pada kurun waktu tersebut, maka kemungkinan Indonesia mengalami resesi menjadi semakin besar.
"Jika puncak pandemi pada September, maka kemungkinan Indonesia mengalami resesi menjadi semakin besar karena kegiatan ekonomi terutama konsumsi dan investasi sangat terganggu," kata Umar.
Namun demikian, Umar menyebutkan kemungkinan resesi di Indonesia lebih dangkal. Sebab, berbeda dengan Singapura yang bergantung besar pada ekonomi dunia, ekonomi Indonesia didominasi dari ekonomi domestik.
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah. Menurutnya, Indonesia juga berada di ambang resesi. Namun, kontraksi ekonomi Indonesia tidak akan seburuk Singapura, karena negara ini tidak bergantung pada ekspor seperti Singapura.
"Kita kan tidak bergantung kepada ekspor, jadi di tengah wabah sekarang ini kontraksi ekonomi tidak akan seburuk Singapura. Kuartal II Kita perkirakan antara minus -5 persen, kuartal III minus -3 persen," kata Piter kepada Liputan6.com, Rabu (15/7/2020).
Kontraksi ekonomi atau resesi selama wabah sebenarnya merupakan kewajaran, yang terjadi hampir di semua negara. Terutama negara-negara yang sangat bergantung kepada ekspor seperti Singapura, karena perlambatan ekonomi dunia langsung berdampak ke perekonomian mereka.
Ia juga tak memungkiri, kalau Indonesia diperkirakan tidak terelakkan mengalami resesi pada tahun 2020 ini. Kontraksi ekonomi akan terjadi pada kuartal II dan III yang telah disebutkannya.
Bahkan ia memperkirakan kontraksi ekonomi bisa berlanjut ke kuartal IV. Selama wabah masih berlangsung kontraksi ekonomi sulit dielakkan.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Bagaimana dengan Dunia Usaha?
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, tak mudah melakukan perpindahan transaksi baik dagang maupun investasi dari Singapura ke Indonesia.
Ada beberapa faktor, seperti ekonomi Singapura yang domestic-oriented dan pasar global yang sedang lesu secara keseluruhan.
Sebagai informasi, resesi di Singapura terjadi karena turunnya kinerja dan kontribusi ekonomi di sektor konstruksi, retail dan pariwisata.
"Selain sektor pariwisata, sektor-sektor ini lebih berorientasi domestik alias pelaku usaha dan pasar pengguna jasanya ada di dalam negeri (Singapura) sehingga tidak ada (potensi transaksi dagang) yang bisa dialihkan ke Indonesia," jelasnya saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (15/7/2020).
Pasar pariwisata global juga sedang turun drastis akibat pembatasan yang dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Indonesia sendiri menempatkan travel restriction yang hampir sama dengan Singapura.
Namun, potensi pergerakan dagang yang tadinya menuju ke Singapura bisa saja pindah ke Indonesia dengan catatan jasa yang ditawarkan di Indonesia lebih efektif dan efisien.
Kemudian iklim usaha di Indonesia lebih baik dari Singapura dan pengguna jasa mengalami peningkatan, meskipun kemungkinannya sangat kecil.
"Ketiga kondisi ini tidak terjadi secara otomatis hanya karena Singapura mengalami technical recession. Karena itu, sangat sulit menciptakan peralihan transaksi ekonomi (dagang maupun investasi) dari Singapura ke Indonesia meskipun Singapura dalam kondisi resesi seperti saat ini," kata dia.
Lantas, hal yang perlu diperhatikan ialah fakta bahwa Singapura berfungsi sebagai katalisator atau hub-perdagangan dan investasi Indonesia. Banyak ekspor dan impor Indonesia yang efisiensi supply-chain difasilitasi oleh jasa perdagangan, logistik dan jasa keuangan Singapura.
Bahkan hingga akhir 2019, Singapura masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar ke-4 Indonesia di seluruh dunia dan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia di ASEAN. Singapura juga merupakan sumber FDI (investasi asing langsung) terbesar Indonesia hingga kuartal I 2020.
"Justru kalau technical recession di Singapura, kita perlu khawatir ekspor kita dan inbound investasi asal Singapura di Indonesia ikut tertekan karena daya beli masyarakat Singapura menurun," ujar Shinta.
Tak cuma itu, kinerja sektor jasa-jasa penting pendukung perdagangan dan aliran dana investasi ke Indonesia di Singapura juga akan menjadi kurang produktif. Oleh karenanya, Shinta merekomendasikan agar Indonesia meningkatkan daya saing jasa nasional dan iklim investasi Indonesia agar ekonomi Indonesia bisa bertahan.
"Sesegera mungkin (harus tingkatkan daya saing jasa nasional dan iklim investasi). Kalau tidak, kondisi ini tidak akan pernah menjadi menguntungkan untuk Indonesia," tutupnya.
Â
Advertisement
Cara Indonesia Bangkit
Umar Juoro mengatakan, Indonesia masih bisa menghindar dari resesi jika terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif di kuartal III dan IV 2020. Dengan catatan, fokus untuk pemulihan demand side, atau daya beli.
"Indonesia masih bisa menghindar dari resesi, paling tidak dengan pertumbuhan positif di triwulan ketiga dan keempat, dengan di kuartal kedua kemungkinan negatif. Fokusnya semestinya pada sisi permintaan (demand side)," kata dia.
Dalam hal ini, pemerintah telah menggulirkan berbagai stimulus, mulai dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Prakerja, dan bantuan untuk pekerja yang terkena PHK.
Selain itu juga ada penurunan tarif PPN dan subsidi upah pekerja di industri padat karya sangat membantu menjaga permintaan dan mencegah PHK. "Bagaimanapun kemampuan kita mengendalikan Covid masih sangat menentukan jalannya perekonomian," pungkas Umar.
Hampir sama. Piter mengatakan bahwa resesi adalah sesuatu yang tidak terelakkan tapi kuncinya ada di dunia usaha dan keuangan.
"Resesi adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Bukan yang kita inginkan, tetapi selama kita masih bisa mempertahankan dunia usaha dan sektor keuangan, maka kita masih bisa berharap untuk bisa recovery dengan cepat," dia menjelaskan.
Lanjut Piter, struktur ekonomi Indonesia tidak seperti Singapura. Karena Indonesia tidak bergantung kepada ekspor, melainkan perekonomian Indonesia lebih bergantung kepada konsumsi rumah tangga.
"Sementara selama wabah ini konsumsi walaupun mengalami penurunan tetapi tidak terlalu besar. Karena konsumsi khususnya barang primer masih tetap ada. Sehingga perekonomian walaupun terkontraksi tidak akan sangat dalam seperti Singapura," ujarnya.
Â
Indonesia Pernah Resesi
Resesi sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia. Negara ini sempat beberapa kali mengalami resesi hingga berakibat pada terjatuhnya kekuasaan. Kisah pertama datang ketika NKRI masih berada di bawah jajahan Belanda.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menceritakan, Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda sempat terkena jurang resesi pada 1930. Saat itu, pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Imbasnya, perekonomian Hindia Belanda kesulitan untuk pulih di tahun-tahun setelahnya. Kondisi tersebut lantas menimbulkan keresahan yang berujung kerusuhan. Termasuk dorongan kuat warga lokal untuk meraih kemerdekaan.
"Untuk resesi di 1930 bahkan menimbulkan guncangan pada kas Kolonial Belanda. Ini yang memicu pemberontakan di mana-mana, termasuk dukungan agar Indonesia merdeka karena penjajah kolonial dianggap gagal memperbaiki situasi ekonomi rakyat," ungkapnya kepada Liputan6.com, seperti dikutip Rabu (15/7/2020).
Kisah resesi selanjutnya terjadi di periode 1960 yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Orde Lama. Di penghujung 1950-an, Indonesia diguncang krisis keuangan. Menindaki hal tersebut, Presiden Sukarno kemudian menerapkan sistem ekonomi terpimpin.
Pemerintah Orde Lama segera melakukan kebijakan pengetatan moneter, seperti melakukan pemotongan nilai mata uang (sanering) sejak 25 Agustus 1959. Itu dilakukan untuk mencegah peninggian inflasi.
Namun, sanering turut menyebabkan daya beli masyarakat menurun drastis. Itu lantaran pemotongan rupiah tidak diikuti dengan penurunan harga-harga barang.
Langkah lainnya, pemerintah juga membekukan 90 persen giro dan deposito di bank di atas Rp 25 ribu, dan menukarnya dengan surat utang. Dalam memberlakukan kebijakan ini, Sukarno rupanya sama sekali tidak melibatkan Bank Indonesia (BI).
Imbasnya, berbagai kebijakan moneter tersebut tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Terjadilah hiperinflasi yang ditandai dengan laju inflasi sangat tinggi pada kisaran 100 persen atau bahkan lebih.
Situasi nasional semakin sulit lantaran saat itu Indonesia juga sedang terguncang akibat peristiwa G30S PKI 1965. Presiden Sukarno pun lengser dari jabatannya pada 1966.
Selang 32 tahun kemudian, tepatnya pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terkontraksi dua kuartal beruntun. Presiden Soeharto yang kala itu berkuasa bahkan harus merelakan kursi tertinggi RI sebelum negara sah dinyatakan resesi.
Bhima menjelaskan, pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 1998 tercatat -7,9 persen. Pencapaian tersebut semakin parah di kuartal II, yang anjlok hingga -16,5 persen.
"Kondisinya minyak tanah langka, BBM naik, dan kerusuhan sosial menjalar di kota kota besar. Sementara kurs rupiah per Juni 1998 menembus rekor 16.800 per dolar AS, padahal Juni 1997 masih 2.350 per dolar AS. PHK massal terjadi hampir disemua sektor, ada 133.459 pekerja dari 676 perusahaan di-PHK saat itu," urainya.
Pasca-masa krisis moneter tersebut, lanjut Bhima, negara butuh waktu yang cukup lama untuk pulih. Pertumbuhan ekonomi setelah krisis 98 sulit mencapai level 6 persen.
"Baru tahun 2011 era SBY pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Ini juga belum bisa menandingi pertumbuhan 1996 yang mencapai 8 persen. Jadi kurva L alias kita tidak akan kembali ke pertumbuhan sebelum krisis 1998," ujar Bhima.
Advertisement