Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, saat ini terdapat sejumlah kendala dalam penerapan program Biodiesel 30 persen (B30) yang tengah digenjot pada 2020 ini.
Salah satunya lantaran harga Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan campuran B30 yang melejit naik. Sementara harga minyak bumi sempat turun beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Menurut dia, selisih harga tinggi antara solar dan FAME sebagai campuran B30 bisa membuat realisasi program tersebut terkendala hingga 2021 mendatang.
Advertisement
"Sehingga selisih antara harga FAME dengan harga solarnya itu jadi lebih besar. Inilah yang membuat bisnis FAME atau bahan bakar nabati agak terganggu tahun ini, dan juga mungkin tahun depan," kata Febrio dalam sesi teleconference, Kamis (6/8/2020).
Febrio menyatakan, pemerintah saat ini tengah mengkaji bagaimana mengatur mekanisme terkait hal tersebut untuk rentang waktu 2020-2021. Itu dilakukan untuk memudahkan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam program B30 pada tahun ini, yakni bentuk hilirisasi pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) guna mendapatkan nilai tambah lebih besar daripada mengekspor CPO dalam bentuk raw material.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dorong Hilirisasi
Terlebih, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.
Kebijakan tersebut mendorong hilirisasi dengan mengenakan pungutan lebih besar kepada ekspor raw material CPO ketimbang produk turunan CPO lainnya.
"Jadi kalau industri itu ingin mengekspor CPO alias raw material, dimana produknya belum terlalu hilir jika dibandingkan dengan produk turunan CPO seperti misalnya RBD (refined, bleached, deodorized), maka harga pungutan ekspornya memang lebih mahal," tuturnya.
"Karena sebenarnya hal itu konteksnya adalah untuk mendorong hilirisasi tersebut," ujar Febrio.
Advertisement
Penyerapan B30 Selama Pandemi Tak Capai Target
Adanya pandemi Covid-19 sangat berdampak pada berbagai sektor kehidupan sosial ekonomi, begitupun dengan sektor kelapa sawit.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan penyerapan Biodiesel 30 (B30) selama covid-19 tidak memenuhi target awal.
“B30 yang menyerap kira-kira kalau normal tanpa ada covid-19 itu kita targetnya 9,6 juta kilo liter untuk biodiesel, tapi karena ada covid-19 demand atau konsumsi biodiesel berkurang karena kegiatan ekonomi,” kata Ketua Dewan Pengawas BPDKS Rusman Heryawan, dalam webinar, Senin (29/6/2020).
Padahal Rusman mengatakan pihaknya menargetkan realisasinya sekitar 80 persen dari 9,6 juta kilo liter itu, karena hal itu signifikan dalam menyerap produk sawit Indonesia.
Selain itu, dengan adanya covid-19, juga sangat mengganggu sektor Sawit di hilir, sedangkan untuk sektor hulu tidak terlalu terganggu.
“Sektor sawit ini kita harus bersyukur ketika pandemi covid-19 sedang puncak-puncaknya di Indonesia Maret-April-Mei, sepertinya kalau di sektor hulu di perkebunan saya tanya kawan-kawan di sana tidak merasakan apa-apa, memang di hilir terasa,” ujarnya.
Kegiatan Perkebunan di Tengah Pandemi
Menurutnya memang praktek di hulu yakni di perkebunan sawit tidak menerapkan physical distancing karena mereka bekerja sendiri, dan pada dasarnya sebelum ada pandemi juga setiap orang yang bekerja atau berkebun itu bekerja sendiri-sendiri dan berjauhan.
“Bukan berarti menyendiri memang proses di sawit begitu, di sawit itu over protokol. Oleh karena itu dampak covid-19 ini terhadap sektor hulu dampaknya kecil, kalau pun ada mungkin euforia saja,” katanya.
Namun, apabila di sektor hilir di bagian industri sawitnya memang terdampak oleh covid-19, karena industrinya berada di daerah urban, sehingga industri di hilir seperti berkaitan dengan pengelolaan hasil sawit seperti produk-produk kosmetik, dan lainnya terpaksa harus berkumpul atau bekerja dengan protokol kesehatan yang tinggi,
“Kalau pandemi ini dari sektor produksinya di hulu rasanya tidak terganggu," kata dia.
Advertisement