Tingginya Harga FAME Hambat Realisasi Program B30 hingga 2021

Harga Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan campuran B30 yang melejit naik.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 06 Agu 2020, 14:10 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2020, 14:10 WIB
Uji Coba Penggunaan Bahan Bakar B30
Sampel biodiesel B0, B20, B30, dan B100 dipamerkan saat uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, saat ini terdapat sejumlah kendala dalam penerapan program Biodiesel 30 persen (B30) yang tengah digenjot pada 2020 ini.

Salah satunya lantaran harga Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan campuran B30 yang melejit naik. Sementara harga minyak bumi sempat turun beberapa waktu lalu.

Menurut dia, selisih harga tinggi antara solar dan FAME sebagai campuran B30 bisa membuat realisasi program tersebut terkendala hingga 2021 mendatang.

"Sehingga selisih antara harga FAME dengan harga solarnya itu jadi lebih besar. Inilah yang membuat bisnis FAME atau bahan bakar nabati agak terganggu tahun ini, dan juga mungkin tahun depan," kata Febrio dalam sesi teleconference, Kamis (6/8/2020).

Febrio menyatakan, pemerintah saat ini tengah mengkaji bagaimana mengatur mekanisme terkait hal tersebut untuk rentang waktu 2020-2021. Itu dilakukan untuk memudahkan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam program B30 pada tahun ini, yakni bentuk hilirisasi pengolahan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) guna mendapatkan nilai tambah lebih besar daripada mengekspor CPO dalam bentuk raw material.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Dorong Hilirisasi

Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Terlebih, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit.

Kebijakan tersebut mendorong hilirisasi dengan mengenakan pungutan lebih besar kepada ekspor raw material CPO ketimbang produk turunan CPO lainnya.

"Jadi kalau industri itu ingin mengekspor CPO alias raw material, dimana produknya belum terlalu hilir jika dibandingkan dengan produk turunan CPO seperti misalnya RBD (refined, bleached, deodorized), maka harga pungutan ekspornya memang lebih mahal," tuturnya.

"Karena sebenarnya hal itu konteksnya adalah untuk mendorong hilirisasi tersebut," ujar Febrio.

Penyerapan B30 Selama Pandemi Tak Capai Target

Pertamina Mulai Sediakan Solar Campur Minyak Sawit
Petugas mengisi BBM kendaraan konsumen di SPBU milik Pertamina di kawasan Jakarta, Selasa (26/11/2019). Implementasi penyediaan solar dengan minyak kelapa sawit sebesar 30% atau B30 lebih cepat satu bulan, dibanding kebijakan pemerintah yang mewajibkan 1 Januari 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Adanya pandemi Covid-19 sangat berdampak pada berbagai sektor kehidupan sosial ekonomi, begitupun dengan sektor kelapa sawit.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyatakan penyerapan Biodiesel 30 (B30) selama covid-19  tidak memenuhi target awal.

“B30 yang menyerap kira-kira kalau normal tanpa ada covid-19 itu kita targetnya 9,6 juta kilo liter untuk biodiesel, tapi karena ada covid-19 demand atau konsumsi biodiesel berkurang  karena kegiatan ekonomi,” kata Ketua Dewan Pengawas BPDKS Rusman Heryawan, dalam webinar, Senin (29/6/2020).

Padahal Rusman mengatakan pihaknya menargetkan realisasinya sekitar 80 persen dari 9,6 juta kilo liter itu, karena hal itu signifikan dalam menyerap produk sawit Indonesia.

Selain itu, dengan adanya covid-19, juga sangat mengganggu sektor Sawit di hilir, sedangkan untuk sektor hulu tidak terlalu terganggu.

“Sektor sawit ini kita harus bersyukur ketika pandemi covid-19 sedang puncak-puncaknya di Indonesia Maret-April-Mei, sepertinya kalau di sektor hulu di perkebunan saya tanya kawan-kawan di sana tidak merasakan apa-apa, memang di hilir terasa,” ujarnya. 

Kegiatan Perkebunan di Tengah Pandemi

Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)
Ilustrasi CPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Menurutnya memang praktek di hulu yakni di perkebunan sawit tidak menerapkan physical distancing karena mereka bekerja sendiri, dan pada dasarnya sebelum ada pandemi juga setiap orang yang bekerja atau berkebun itu bekerja sendiri-sendiri dan berjauhan.

“Bukan berarti menyendiri memang proses di sawit begitu, di sawit itu over protokol. Oleh karena itu dampak covid-19 ini terhadap sektor hulu dampaknya kecil, kalau pun ada mungkin euforia saja,” katanya.

Namun, apabila di sektor hilir di bagian industri sawitnya memang terdampak oleh covid-19, karena industrinya berada di daerah urban, sehingga industri di hilir seperti berkaitan dengan pengelolaan hasil sawit seperti produk-produk  kosmetik, dan lainnya terpaksa harus berkumpul atau bekerja dengan protokol kesehatan yang tinggi,

“Kalau pandemi ini dari sektor produksinya di hulu rasanya tidak terganggu," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya