Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) rugi bersih USD 767,92 juta atau Rp 11,2 triliun pada semester I 2020. Angka ini cukup mengejukan karena diperiode yang sama 2019 perusahaan mencatatkan laba bersih USD 659,96 juta atau Rp 9,6 triliun.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan tiga penyebab utama kerugian yang mencapai triliunan tersebut. Pertama mengenai penjualan perusahaan yang mengalami gejolak cukup besar akibat adanya pandemi Virus Corona.
"Terkait kerugian Pertamina untuk posisi Juni 2020 sebesar Rp 11 triliun. Ada 3 syok yang mungkin kita bisa sampaikan dari beberapa kesempatan yang pertama yang sangatbsignifikan menghantam cashflow adalah terkait penurunan sales ini yang tidak terjadi pada masa masa krisis terdahulu," ujar Emma saat menghadiri rapat kerja bersama DPR, Jakarta, Senin (31/8/2020).
Advertisement
Emma mengatakan, penjualan produk Pertamina sangat terdampak dengan adanya pandemi Virus Corona. Penurunan penjualan secara signifikan terjadi pada kuartal II 2020.
"Pandemi Covid ini signifikan sekali penurunan demand menyebabkan revenue sangat terdampak. Jadi berapa pun crude price sangat rendah dan juga karena demand tidak ada, tidak berdampak pada revenue kita," katanya.
Kedua adalah terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Di mana pada akhir tahun lalu, Rupiah berada pada posisi Rp13.900 per USD lalu menanjak tajam menjadi Rp16.767 per USD.
"Memasuki kuartal II itu kurs sangat fluktuatif dan Pertaminasangat terdampak sekali, karena buku kita USD sementara revenue dalam Rupiah jadi semakin ter hit nya dari berbagai dampak. Jadi dari revenue turun dan selisih kurs kita sangat terdampak sekali. Kita lihat selisihnya sangat tajam," paparnya.
Â
** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020
Saksikan video pilihan berikut ini:
Harga Minyak Indonesia
Faktor lain kata Emma adalah, pelemahan ICP. Di satu sisi, hilir sedikit berdampak pada keuntungan tetapi sebenarnya tidak juga karena ada penurunan permintaan di avtur dan juga BBM sementara stok besar dan harga turun.
"Karena di inventori kita menumpuk barang. April Mei stok avtur kita bisa stoknya sampai 400 hari. Kemudian, solar juga sama semua terdampak dan itu menjadi inventori cost sementara revenue tidak ada. Sehingga kta tidak enjoy terhadap penurunan harga ICP," jelasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement