Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan pabrikan rokok asing berskala global menahan produksinya agar terhindar dari membayar tarif cukai yang lebih tinggi.
Hal ini disebabkan struktur tarif cukai rokok di Indonesia yang masih menganut banyak lapisan (layer) memiliki celah untuk dimanfaatkan.
Baca Juga
Faisal menjelaskan, sejatinya tujuan layer dalam struktur tarif cukai rokok adalah untuk mencegah pabrikan besar bersaing langsung dengan pabrikan kecil. Kenyataannya, sebagian produk buatan pabrikan besar asing memilih tetap bertahan di kelompok tarif cukai rendah dengan cara menahan batasan produksinya.
Advertisement
“Dia (perusahaan asing) tidak mau meningkatkan produksi sampai batas miliar layernya. Karena kalau layernya naik seperti Marlboro atau Djarum, mereka akan terkena cukai paling tinggi,” tegas Faisal kepada wartawan, Jumat (4/9/2020).
Padahal, perusahaan-perusahaan asing tersebut termasuk kategori pemain global dengan tingkat produksi sangat besar. Ironisnya, selain menciptakan berbagai praktik yang tidak adil bagi para pabrikan kecil, kebijakan struktur tarif cukai yang berlaku saat ini semakin membuat para pemain global ini leluasa memainkan strategi ilusi harga (money illusion).
Melalui strategi ini, para pabrikan asing melakukan modifikasi penjualan dengan cara menurunkan jumlah batang dalam sebungkus rokok atau mendorong penjualan produknya secara eceran per batang sehingga tampak lebih murah.
Padahal, jika dibandingkan cukai per batangnya, margin keuntungan yang diperoleh pabrikan asing sangat besar dan rokok dijual sangat mahal dibandingkan cukai yang mereka bayar kepada negara. Akibatnya, akses terhadap rokok semakin mudah.
Kontrol Kemenkeu
Di kesempatan yang sama, Kepala Tim Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Teguh Dartanto menyatakan Kementerian Keuangan telah melakukan kontrol terhadap berbagai kebijakan salah satunya soal harga rokok.
“Soal harga terutama ilusi harga, ini harus diperhatikan. Disisi lain untuk non-price policy, gak mudah seperti harga dalam penegakan hukum, karena dalam konteks penegakan hukum itu susah,” katanya.
Teguh menambahkan pengendalian cukai tidak bisa diaplikasikan pada satu kebijakan. “Ini adalah jalan panjang untuk sebuah perubahan, tapi yang dibutuhkan adalah persistensi dan konsistensi dari semua pihak. Sehingga komitmen tinggi perlu didorong untuk mengatasi isu yang terjadi saat ini,” tambah Teguh.
Sementara itu, sebelumnya dalam sesi Akurat Solusi (30/8), Peneliti Universitas Padjajaran (Unpad) Mudiyati Rahmatunnisa mengatakan kebijakan cukai harus memperhatikan kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT). Saat ini malah terdapat rencana untuk melakukan simplifikasi atau penyederhanaan struktur tarif cukai yang memberikan ancaman bagi IHT.
Menurut Mudiyati, upaya simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau dinilai dapat mematikan pabrikan kecil, sehingga penyerapan bahan baku tembakau bakal berkurang 30 persen sementara cengkih sampai dengan 40 persen.
"Simplifikasi berisiko membuat pabrikan kecil akan kolaps dan berimplikasi pada penyerapan tembakau yang berkurang dan sekarang sebetulnya sudah mulai terasa," imbuhnya.
Simplifikasi tarif Cukai rokok masuk dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memasukkan penyederhanaan tarif cukai rokok dalam strategi otoritas untuk mengendalikan konsumsi rokok. Ketentuan tersebut juga tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01.2020 tentang Rancangan Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Advertisement