Meski Masih Pesimis, Tren Keyakinan Konsumen Terhadap Ekonomi Membaik

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2020 sebesar 86,9, lebih tinggi dari IKK Juli 2020 sebesar 86,2.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 08 Sep 2020, 11:50 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2020, 11:50 WIB
September 2018, BPS Catat Deflasi 0,18 Persen
Pedagang telur melayani pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (1/10). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada bulan September 2018 terjadi deflasi sebesar 0,18 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Survei Konsumen Bank Indonesia pada Agustus 2020 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi terus membaik, meskipun masih berada pada zona pesimis yakni kurang dari 100.

Hal itu tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2020 sebesar 86,9, lebih tinggi dari IKK Juli 2020 sebesar 86,2. Keyakinan konsumen menguat pada responden dengan tingkat pengeluaran Rp 2-4 juta per bulan dan pada responden berusia 20-50 tahun.

“Secara spasial, keyakinan konsumen membaik di 8 kota survei, dengan kenaikan tertinggi di kota Surabaya, Manado, dan Denpasar,” terang Kepala Departemen Komunikasi, Onny Widjanarko dalam keterangan resmi, Selasa (8/9/2020).

Membaiknya keyakinan konsumen pada Agustus 2020 didorong oleh persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini. Persepsi tersebut terus membaik ditopang oleh meningkatnya keyakinan terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan pembelian barang tahan lama.

“Sementara itu, ekspektasi konsumen terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang cukup optimistis, meskipun melemah dibandingkan dengan ekspektasi pada bulan sebelumnya. Hal tersebut disebabkan oleh ekspektasi terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kegiatan usaha ke depan yang tidak sekuat bulan sebelumnya,” tukas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

IKK Kalah dari Malaysia, Konsumen Indonesia Masih Enggan Komplain

Indeks Harga Konsumen September Alami Deflasi 0,27 Persen
Pedagang melayani pembeli di Pasar Kebayoran, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen pada September 2019 mengalami deflasi sebesar 0,27 persen. Posisi ini lebih rendah dari deflasi Agustus 2019 sebesar 0,68%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen Indonesia (IKK) yang masih berada di level 41,7. Padahal IKK Malaysia sudah mencapai 60 poin sampai saat ini. Akibatnya konsumen di Indonesia enggan melakukan komplain atas kerugian transaksi barang maupun jasa.

"Soal IKK ini memang kita masih kalah dibandingkan Malaysia. Malaysia IKK sudah mampu ke level 60 saat ini. IKK ini menunjukkan konsumen Indonesia enggan komplain apabila terjadi permasalahan dalam transaksi barang atau jasa," ujar Koordinator Advokasi BPKN, Rizal E Halim pada acara peringatan puncak Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2020 di Jakarta, Kamis (3/9).

Rizal mengatakan IKK dilevel 41,7, menunjukkan konsumen Indonesia telah menuju Level Mampu dari yang sebelumnya hanya berada pada Level Paham. Sehingga konsumen Indonesia dianggap sudah mampu menggunakan hak dan kewajibannya untuk menentukan pilihan barang ataupun jasa terbaik, serta mau memilih menggunakan produk dalam negeri.

Namun, level mampu masih belum cukup untuk mengangkat martabat konsumen Indonesia. Hal ini tercermin dari rendahnya partisipasi konsumen untuk melakukan komplain atas kerugian dari kegiatan perdagangan baik berupa produk ataupun jasa.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk lebih berusaha keras dalam meningkatkan IKK dari level saat ini. Mengingat peran IKK sangat penting bagi peningkatan martabat konsumen dan peningkatan kualitas dan daya saing produk dalam negeri.

"Meningkatnya IKK akan mendorong kesadaran konsumen dalam menggunakan hak dan kewajibannya, serta bersikap kritis. Juga mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas dan saya saing produknya," tukasnya.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan berkomitmen untuk meningkatkan martabat konsumen dan mendorong kualitas serta daya saing produk di Indonesia. Salah satunya dengan meningkatkan angka Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) tahun 2020 ke level 42 poin.

"Pada tahun 2020 ini kemendag menargetkan IKK meningkat setidaknya menjadi 42 poin," ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.

Agus mengatakan IKK merupakan dasar untuk menetapkan kebijakan di bidang perlindungan konsumen dan untuk mengukur kesadaran dan pemahaman konsumen akan hak dan kewajibannya, serta kemampuan dalam berinteraksi dengan pasar. Sehingga penting bagi pemerintah untuk terus meningkatkan angka IKK.

Terlebih, pada tahun 2019, IKK Indonesia tercatat sebesar 41,7. Artinya konsumen Indonesia telah menuju Level Mampu yang sebelumnya hanya berada pada Level Paham.

"Level Mampu artinya konsumen Indonesia telah mampu menggunakan hak dan kewajibannya sebagai konsumen untuk menentukan pilihan terbaik. Serta menggunakan mau memilih produk dalam negeri" jelasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

YLKI: Mahalnya Masker dan Hand Sanitizer Paling Banyak Dilaporkan Konsumen

Mesir Genjot Pembuatan Masker Medis Hadapi COVID-19
Orang-orang bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi masker medis di Kairo, Mesir, 14 April 2020. Para karyawan bekerja siang dan malam untuk mengoperasikan lima mesin canggih yang dibawa dari China untuk memproduksi hingga 750.000 masker medis per hari. (Xinhua/Wu Huiwo)

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat adat enam kasus pengaduan yang banyak dilaporkan oleh konsumen di tengah pandemi Covid-19. Tertinggi menyangkut soal masker dan hand sanitizer.

"Terhitung sejak bulan Februari lalu, YLKI banyak menerima pengaduan oleh konsumen. Setidaknya ada 7 kasus yang banyak diadukan oleh konsumen di tengah pandemi ini," ujar dia dalam peringatan puncak Hari Konsumen Nasional (Harkonas) 2020 di Jakarta, Kamis (3/9).

Pertama, masker dan hand sanitizer. YLKI mencatat aduan atas dua alat kesehatan itu mencapai 33,30 persen.

"Karena kita tahu di awal pandemi masker dan hand sanitizer sangat langkah. Kalau ada, harga mahal dan kualitas abal-abal," ujarnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni mendesak aparat penegak hukum dan regulator untuk mengusut adanya penimbunan. "Kita kirim surat ke Dirjen PKTN, Mabes Polri, Kemenkes, dan KSP," paparnya.

Kedua, Transportasi. YLKI mencatat tingkat aduan mencapai 25 persen. Dimana aduan konsumen kesulitan untuk melakukan refund tiket, dan menolak refund berbentuk voucher.

"Kita tahu PSBB merupakan petaka bagi konsumen, yang telah booking tiket moda transportasi. Operator kesulitan untuk memenuhi tuntutan refund dan refund digantikan oleh voucher. Bukan cash money," terangnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni meminta Kementerian Perhubungan selaku regulator untuk melakukan mediasi antara operator dan konsumen. "Karena kan operator kesulitan jika refund berbentuk cash money," imbuh dia.

Ketiga, Belanja Online. YLKI mencatat jumlah pengaduan mencapai 16,67 persen, dengan dominasi kasus penipuan atau harga tinggi.

"Tren atas belanja online membawa potensi atas tindakan penipuan dan penjualan barang-barang tertentu dengan harga tinggi. Khususnya alat kesehatan," cetusnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, dengan meminta Dirjen PKTN Kementerian Perdagangan untuk memperketat pengawasan. Juga mendorong aparat hukum agar tegas memberikan sanksi bagi penjual nakal yang terbukti merugikan konsumen," tambahnya.

Keempat, Relaksasi Jasa Keuangan. YLKI mencatat presentase pengaduan mencapai 11,11 persen.

"Awal pandemi presiden (Jokowi) menjanjikan relaksasi debitur jasa finansial, termasuk leasing. Namun realita dilapangan konsumen kecewa relaksasi tidak bisa dieksekusi," paparnya.

Advokasi yang dilakukan oleh YLKI, yakni mendesak OJK, Perbankan, dan operator transportasi untuk membuat kriteria yang jelas dan transparan. Sehingga masyarakat dapat menerima manfaat atas relaksasi yang dijanjikan negara.

Kelima, supermarket mencapai 5,50 persen terkait lonjakan dan kelangkaan sejumlah barang. Terakhir, layanan kesehatan dengan presentase pengaduan mencapai 2,07 persen. Adapun jenis pengaduannya meliputi harga rapid test yang mahal, rapid tes sebagai syarat untuk penggunaan transportasi umum dan fenomena komersialisasi layanan rapid test.

"Untuk advokasi, kita minta hilangkan rapid test sebagai syarat. Mengingat rapid test tidak efektif dalam menekan penyebaran virus Corona," tukasnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya