Ekonomi: Kalau Resesi Berkepanjangan Bisa Terjadi Depresi Ekonomi

Masyarakat tidak perlu khawatir akan potensi terjadinya resesi yang kian dekat.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Sep 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2020, 17:00 WIB
FOTO: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal II 2020 Minus 5,32 Persen
Anak-anak bermain di bantaran Kanal Banjir Barat dengan latar belakang gedung pencakar langit di Jakarta, Kamis (6/8/2020). Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal II/2020 minus 5,32 persen akibat perlambatan sejak adanya pandemi COVID-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan dampak nyata resesi ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat. Terlebih dia menilai kondisi tersebut sudah mulai terasa ketika pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.

"Kalau dampak paling besar atas potensi resesi. Yakni merosotnya daya beli, karena pendapatan masyarakat hilang atau terpangkas sehingga masyarakat tidak bisa konsumsi normal. Kan mulai ini terasa di kuartal II kemarin," ujar dia saat dihubungi Merdeka.com, Rabu (9/9/2020).

Menurutnya penurunan daya beli ini tercermin dari sejumlah indikator, khususnya Indeks Penjualan Riil (IPR) yang berada dalam tren negatif. Dimana pada Juni lalu, IPR mengalami minus 17,1 persen. Kendati membaik dari minus 20,6 persen pada Mei.

"Artinya selama kebijakan pelonggaran PSBB dilakukan, aktivitas ekonomi yang ada tidak seperti diharapkan oleh pemerintah. Imbasnya masyarakat secara umum daya belinya secara masih rendah," paparnya.

Kendati demikian, Eko tetap mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir akan potensi terjadinya resesi yang kian dekat. Mengingat dalam konteks resesi, akan banyak kebijakan untuk menstimulus perekonomian nasional ke arah positif.

"Masyarakat tidak perlu khawatir karena dalam konteks resesi itu ada peluang perbaikan ekonomi dari kebijakan yang ada. Baru kalau resesi kepanjangan kemudian masyarakat hati hati. Karena itu namanya depresi ekonomi," tegasnya.

Sehingga kebijakan pemerintah untuk percepatan proses pemulihan ekonomi akibat resesi ini sangat diperlukan. Terutama kebijakan terkait upaya penanganan pandemi Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia.

"Sebab, masyarakat pasti masih akan menahan konsumsi apabila pandemi ini masih bertambah. Karena mereka lebih melihat pada sisi ketidakpastian untuk melakukan investasi maupun berbagai aktivitas lainnya untuk menggerakkan roda perekonomian," imbuh dia.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Sri Mulyani: Resesi Bukan Berarti Ekonomi dalam Kondisi Sangat Buruk

Target Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2018
Pemandangan deretan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, Jumat (29/9). Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4 persen tetap realistis. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 sebesar 0 persen hingga -2 persen. Apabila nantinya ekonomi tercatat negatif maka secara teknik Indonesia masuk zona resesi. Meski demikian, hal ini bukan sesuatu yang sangat buruk.

"Kalau kita lihat aktivitas masyarakat sama sekali belum normal. Oleh karena itu, kalau secara teknik nanti kuartal III ada di zona negatif maka resesi itu terjadi. Namun itu tidak berarti bahwa kondisinya adalah sangat buruk," ujar Sri Mulyani usai rapat kerja dengan DPR, Jakarta, Senin (7/9/2020).

 

Sri Mulyani melanjutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dibanding negara-negara lainnya yang mengalami kontraksi ekonomi hingga negatif 20 persen. Bahkan negara-negara tersebut sudah lebih dulu memasuki zona resesi dibandingkan dengan Indonesia.

"Karena kalau kita lihat, kontraksinya lebih kecil dan menunjukkan adanya pemulihan dibidang konsumsi, investasi melalui dukungan dan belanja pemerintah akselerasi cepat. Dan kita juga berharap ekspor sudah mulai baik, kita lihat satu bulan atau beberapa bulan terakhir terjadi kenaikan yang cukup baik," paparnya.

"Dibandingkan negara lain yang kontraksinya sangat dalam, kita sebetulnya dalam posisi yang relatif lebih baik karena kita di 5,3 persen itu dibandingkan dengan negara yang kontraksinya mencapai negatif 17 hingga negatif 20 persen, itu sangat dalam," sambungnya

Pemerintah tetap berupaya dengan segala cara untuk memulihkan ekonomi di tengah pandemi Virus Corona. Seluruh mesin pertumbuhan ekonomi seperti konsumsi, investasi dan ekspor terus didorong agar mampu mendongkrak ekonomi di kuartal III tahun ini.

"Jadi kita tetap berusaha, akselerasi seluruh belanja pemerintah dan program ekonomi akan terus dilaksanakan sehingga konsumsi masyarakat secara bertahap pulih dan investasi secara bertahap pulih. Ekspor juga mulai didorong. Maka mesin pertumbuhan di antara konsumsi, investasi dan ekspor dan pemerintah pertumbuhan kuartal III akan lebih baik," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya