Anggota DPR Kritik Mekanisme Pembelian SUN oleh BI di Pasar Primer

Dalam draf Revisi UU tersebut di pasal 55 disebutkan Bank Indonesia bisa membeli surat utang negara (SUN) di pasar primer dalam rangka pengendalian moneter.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Sep 2020, 15:50 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2020, 15:50 WIB
Pansus KPK
Anggota Pansus Hak Angket KPK, Arteria Dahlan (kedua kanan) memberi keterangan pers di Jakarta, Senin (20/9). Pansus Hak Angket KPK membeberkan temuan terkait pengadaan alat berat yang diduga dilakukan Ketua KPK Agus Rahardjo. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Independensi Bank Indonesia (BI) lebih kuat jika dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan alat kelengkapan negara di bidang eksekutif untuk penegakan hukum terkait korupsi.

"BI ini independensi lebih dari KPK," kata Politikus dari PDI Perjuangan Arteria Dahlan dalam Rapat Panja Penyusunan RUU Perubahan Bank Indonesia di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis (17/9/2020).

Hal ini diungkapkan Arteria terkait kewenangan Bank Indonesia dalam Revisi UU Nomor 23 tahun 1999. Dalam draf Revisi UU tersebut di pasal 55 disebutkan bank sentral bisa membeli surat utang negara (SUN) di pasar primer dalam rangka pengendalian moneter.

Menurutnya, kewenangan tersebut menyalahi prinsip hukum perbankan. "Bagaimana BI bisa beli SUN di pasar primer? Ini bertentangan dengan prinsip hukum perbankan," kata Arteria.

Selain itu, Arteria juga mengkritisi pasal 56 dalam draft tersebut yang mempersilahkan Bank Indonesia untuk memberikan pembiayaan sementara kepada pemerintah. Pembiayaan pun diberikan lewat surat utang. Dia menilai hal ini tidak sesuai dengan aturan yang ada sebelumnya.

"Bagaimana logika berpikirnya? Ini tidak boleh, ini hal prinsip," kata dia.

Begitu juga dengan pasal 75 dalam draft tersebut. Disebutkan dewan gubernur yang sedang menjabat harus diganti setahun setelah revisi undang-undang disahkan.

"Apalagi pasal 75, masa kita tega sih membuat undang-undang hanya untuk menggusur dewan gubernur yang eksis ini," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Ekonom Indef Ini Ungkap 7 Alasan untuk Menolak RUU BI

Tukar Uang Rusak di Bank Indonesia Gratis, Ini Syaratnya
Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Ekonom Indef Dradjad Wibowo ikut angkat suara perihal RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang tengah disusun Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

RUU ini dikabarkan akan mengembalikan pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurutnya Perppu reformasi keuangan yang tengah disusun Baleg ini dianggap tidak logis, tidak jelas efektivitasnya, dan membahayakan stabilitas moneter dan keuangan.

Dia pun merinci setidaknya ada tujuh alasan atas pandangannya tersebut. "Mengapa saya bilang tidak logis, tidak jelas efektivitasnya, dan membahayakan stabilitas moneter dan keuangan kita. Setidaknya ada 7 alasan yang saya ungkapkan," jelas dia dalam webinar, Selasa (1/9/2020).

Pertama, tidak ada satu negarapun yang merombak struktur dan sistem otoritas moneter dan keuangan di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.

"Kemudian kalau Indonesia mau mengubah di tengah krisis, kita jadi negara yang aneh di dunia," imbuhnya.

Kedua, negara yang pertumbuhan ekonominya lebih anjlok dari Indonesia pun mereka tidak melakukan perombakan regulasi keuangan.

"Kan kita lihat Inggris, Amerika Serikat dan negara yang ekonomi di kuartal II-2020 anjlok hingga dua digit pun tidak merubah regulasi yang ada," papar dia.

Alasan Lain

Ketiga, perombakan regulasi ini bukan praktek terbaik internasional (PTI). "Karena di tengah pandemi ini, PTI adalah strategi ganda. Mulai dari penanganan pandemi melalui penemuan vaksin dan kedua melakukan stimulus ekonomi masif, kalau di Indonesia ada PEN," ujarnya.

Keempat, reformasi Perppu keuangan akan memberikan kesan bahwa pemerintah sedang bingung dan panik menyikapi krisis yang muncul.

"Akibatnya ini akan jelek direspon pasar dengan mudahnya mengeluarkan Perppu, sehingga efeknya akan berantai dan tidak baik karena semua ditabrak," tegasnya.

Kelima, menjaga independensi BI selaku bank sentral sangat penting. Dimana negara maju yang demokratis, mulai dari Amerika Serikat (AS) sampai Inggris, berkomitmen menjaga independensi bank sentral.

"Bahkan, di AS, presiden paling superpower (Donald Trump) pun tidak berhak intervensi kebijakan The Fed," ucapnya.

Keenam, RUU tentang BI berpotensi menciptakan ditaktor moneter dan keuangan tanpa kontrol yang maksimal dari regulator. "Sehingga Indonesia berpotensi kembali ke jaman jahiliyah dimana kasus BLBI pernah terjadi," ungkapnya.

Terakhir, solusi krisis akibat pandemi ini bukan melalui Perppu reformasi keuangan. Melainkan penguatan lembaga-lembaga KSSK, termasuk LPS.

"Khususnya perampingan penanganan bank bermasalah karena di UU LPS saat ini tidak memungkinkan hal tersebut,"tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya