Tolak Omnibus Law, Buruh Gelar Mogok Kerja Serentak

Serikat buruh akan melakukan perlawanan secara konstitusional terhadap Omnibus Law dengan melakukan aksi unjuk rasa dan mogok nasional.

oleh Arie Nugraha diperbarui 29 Sep 2020, 12:10 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2020, 12:10 WIB
Massa Buruh Kepung Balai Kota DKI
Massa buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyemut di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (10/11). Puluhan ribu buruh berunjuk rasa menuntut agar UMP di Jakarta direvisi dari Rp3,6 juta menjadi Rp3,9 juta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Puluhan kelompok buruh menuding anggota DPR RI telah mengkhianati buruh, karena telah menyetujui usulan pemerintah mengesahkan pemberlakukan omnibus law klaster ketenagakerjaan. Tentunya hal itu dianggap merugikan buruh.

Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto, hasil kesepakatan panja dan pemerintah soal klaster ketenagakerjaan yaitu penghapusan syarat jenis pekerjaan, batasan waktu PWKT atau kontrak, outsourcing atau alih daya ini akan berakibatkan terhadap semua jenis pekerjaaan.

Selain itu ucap Roy hal yang merugikan lainnya, adanya jabatan tanpa ada batasan waktu menggunakan PKWT dan outsourcing, dikuranginya nilai pesangon, dihapuskannya upah minimum sektor, cuti-cuti yang menjadi hak buruh dan dipermudahnya perusahaan melakukan PHK.

"Ini membuktikan bahwa DPR bukan lagi representasi rakyat tidak mendengarkan aspirasi buruh," ujar Roy dalam keterangan resminya ditulis Bandung, Selasa, (29/9/2020).

Roy mengatakan pembahasan kedua belah pihak itu dilakukan pada 25 - 27 September 2020, dimana dari waktu pembahasan kelompok buruh melihat bahwa DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan kejar tayang dan target .

Itu dapat dilihat sebut Roy, pada hari libur yaitu Sabtu - Minggu lalu tetap dilakukan pembahasan sampai pukul 23.00 WIB di hotel mewah dan berpindah-pindah tempat memicu kemarahan kelompok buruh.

"Hasil rapat pimpinan serikat pekerja dan serikat buruh yang terdiri dari KSPSI, KSPI, Aliansi Gekanas yang didalamnya ada 32 federasi serikat pekerja tingkat nasional pada tanggal 27 September 2020, menyatakan menolak seluruh hasil pembahasan panja dan pemerintah mengenai Omnibus Law Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan," sebut Roy.

Roy menegaskan kelompok buruh akan melakukan perlawanan secara konstitusional dengan melakukan aksi unjuk rasa dan mogok nasional. Rencananya unjuk rasa buruh akan dilakukan di gedung DPR RI dan di daerah akan dilakukan secara bergelombang dimulai dari 29 September - 1 Oktober 2020.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Aksi Unjuk Rasa

Buruh dari Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) berunjuk rasa mendesak Gubernur Ridwan Kamil agar segera menetapkan besaran upah minimum kota (UMK) tahun 2020, Bandung, Rabu, 20 November 2019. (Lipuan6.com/Arie Nugraha)
Buruh dari Konfederasi Aksi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) berunjuk rasa mendesak Gubernur Ridwan Kamil agar segera menetapkan besaran upah minimum kota (UMK) tahun 2020, Bandung, Rabu, 20 November 2019. (Lipuan6.com/Arie Nugraha)

Selain di gedung DPR RI, unjuk rasa pada tanggal 1 Oktober 2020 akan di fokuskan di kantor Kementerian Ekonomi dan Kementerian Tenaga Kerja.

Sedangkan mogok nasional akan dilakukan pada tanggal 6 - 8 Oktober 2020 secara serentak di seluruh kawasan industri kabupaten dan kota, provinsi serta nasional dengan tuntutan batalkan dan cabut Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

"Mogok nasional ini sebenarnya bukan tujuan dari kaum buruh. Kami telah melakukan upaya-upaya konsep, loby-loby dialog dengan pemerintah dan DPR RI, tapi semua langkah itu tidak membuahkan hasil sesuai harapan buruh," ucap Roy.

Roy mengaku kelompok buruh terpaksa mengambil langkah mogok nasional secara konstitusional, berdasarkan hasil kesepakatan seluruh serikat pekerja serta serikat buruh' Alasannya, karena jika RUU Cipta Kerja ini disahkan pada sidang paripurna DPR RI tanggal 8 Oktober 2020, maka nasib kelompok buruh akan semakin susah.

Buruh berjanji akan memastikan kegiatan unjuk rasa dan mogok nasional dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yaitu dengan tetap mengikuti protokol kesehatan COVID - 19 seperti memakai masker, hand sanitizer, jaga jarak serta akan berjalan secara aman, damai dan tertib. (Arie Nugraha)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya