Penerimaan Pajak Diprediksi Kurang Rp 500 Triliun dari Target APBN 2020

Kemenkeu memproyeksikan Shortfall atau selisih penerimaan pajak dari target APBN 2020 bakal mencapai Rp 500 triliun.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 06 Okt 2020, 13:06 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 13:05 WIB
DJP Riau-Kepri Pidanakan 2 Pengemplang Pajak
Ilustrasi: Pajak Foto: Istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasi Nazara memproyeksikan Shortfall atau selisih penerimaan pajak dari target APBN 2020 bakal mencapai Rp 500 triliun. 

"Penerimaan pajak kita perkirakan Rp 500 riliun tidak akan terkumpul. Artinya kegiatan ekonominya turun dan pemerintah juga memberikan isentif-insentif pajak. Rp 500 triliun kita perkirakan dari anggaran tahun ini tidak akan kita terima," tuturnya dalam sesi teleconference, Selasa (6/10/2020).

Namun di sisi lain, Suahasi mengungkapkan, pemerintah tidak bisa menurunkan belanja negara. Menurut dia, hal tersebut harus di-support dan dinaikan untuk menunjang program pemulihan ekonomi nasional, sehingga postur belanja di APBN meningkat sekitar Rp 200 triliun.

"Kita lakukan defisit APBN menjadi 6,3 persen dari PDB atau sekitar Rp 1.000 triliun. Itu semua ditetapkan dalam bentuk UU Nomor 2 Tahun 2020," jelas dia.

Dengan kondisi defisit seperti ini, pemerintah disebutnya bakal fokus membantu perekonomian sehingga negara bisa lanjutkan proses pemulihan. Langkah ini dilakukan guna mengobati kontraksi ekonomi di kuartal II 2020 yang negatif 5,32 persen. 

"Kita berharap di kuartal III ada pemulihan ekonomi. Mungkin angkanya masih kontraksi, tapi lebih rendah. Kita tunggu angka dari BPS (Badan Pusat Statistik). Sampai kuartal IV pemerintah terus support dari perekonomian," ungkapnya.

Suahasil menceritakan, pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal kedua kemarin terjadi lantaran situasi pandemi yang sangat buruk pada April-Mei 2020. Situasinya perlahan mulai berubah ketika mulai ada kegiatan ekonomi di periode Juni-Juli 2020.

"Kegiatan ekonomi mulai meningkat pada bulan Agustus, meski di satu dua titik ada peningkatan Covid-19, tapi ini bagian dari pemulihan. Dengan pemulihan kita berharap di kuartal III ada perbaikan dari pertumbuhan ekonomi," ujar Suahasil.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kabar Terbaru Soal Pajak Mobil Baru 0 Persen

Pemerintah Berencana Memacu Aturan Ekspor Industri Otomotif
Mobil siap ekspor terparkir di PT Indonesia Kendaraan Terminal, Jakarta, Rabu (27/3). Pemerintah berencana memacu ekspor industri otomotif dengan harmonisasi skema PPnBM, yaitu tidak lagi dihitung dari kapasitas mesin, tapi pada emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengaku masih menghitung diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru. Sejauh ini pihaknya masih ingin melihat apakah pembebasan PPnBM ini bisa mendorong pertumbuhan industri otomotif termasuk pertumbuhan ekonomi.

"PPnBM mobil belum. Masih hitung. Ini kita masih terus pelajari, belum bisa umumkan. Nanti segera kalau sudah selsai kita kaji, kita umumkan tentang itu," kata dia dalam video conference di Jakarta, Kamis (1/10/2020)

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian sedang mengusulkan relaksasi pajak pembelian mobil baru sebesar 0 persen atau pemangkasan pajak kendaraan bermotor (PKB), guna menstimulus pasar sekaligus mendorong pertumbuhan sektor otomotif di tengah masa pandemi Covid-19. Namun, apakah rencana itu dapat menggerus pasar mobil bekas.

Pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, terdapat perhitungan yang pada akhirnya bisa menyimpulkan asumsi tersebut. Jika pajak mobil baru dapat menjadi nol persen hingga akhir tahun 2020 ini, maka secara hipotesis harga terpotong sekitar 10-25 persen. Hal itu tergantung apakah PPN saja yang dihilangkan atau bahkan hingga PPnBM-nya.

Namun, jika hanya turun 10 persen, menurut Yannes, belum akan mengganggu harga mobil bekas yang kini pun sudah turun harganya dibandingkan dengan harga pada bulan yang sama tahun 2019 lalu.

"Jika harga mobil baru dapat terpotong sekitar 10-25 persen, maka dia dapat menggerus pasar mobil bekas. Dampaknya, untuk dapat survive, maka harga jual mobil bekas akan semakin anjlok lagi," kata dia.

Dia menjelaskan, jika hal ini terjadi, maka masyarakat semakin diyakinkan bahwa kendaraan bermotor bukan lagi menjadi barang yang layak untuk investasi, tetapi benar-benar barang konsumsi dengan tingkat penyusutan harga yang semakin besar saja.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

Menunggu Pajak 0 Persen, Konsumen Tunda Pembelian Mobil

Ekspor Mobil Tahun Ini Ditargetkan Tumbuh 7 Persen-Jabar- Immanuel Antonius-20170223
Pekerja mengecek hasil pembuatan mobil Toyota Fortuner dan Innova di TMMIN Karawang Plant 1, Jawa Barat, Kamis (23/2). Ekspor kendaraan roda empat diprediksi tumbuh sebesar tujuh persen di sepanjang 2017. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebeumnya, mendorong pertumbuhan di sektor otomotif, Kementerian Perindustrian mengusulkan relaksasi pajak pembelian mobil baru sebesar 0 (nol) persen atau pemangkasan pajak kendaraan bermotor (PKB).

Menanggapi hal tersebut, Marketing Director 4W PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Donny Saputra berharap pengurangan pajak dapat dilakukan untuk memberikan stimulus di sektor otomotif. 

"Kalau nanti ada wacana pemberian pajak 0 persen maupun pemberian wacana pengurangan pajak baik dalam bentuk ppnbm maupun BBN tentunya ini akan memberikan kontraksi yang positif terhadap pasar," katanya.

Meski demikian, hingga saat ini belum ada kepastian kapan relaksasi pajak benar-benar akan diterapkan. Akibatnya, beberapa konsumen memilih menunda melakukan pembelian mobil.

"Dengan wacana yang terlalu lama bisa menunda pembelian di kendaraan penumpang. Padahal PPNBM untuk komersial 0 persen. Untuk pembeli kendaraan komersial, mereka beli kendaraan karena butuh, untuk menopang bisnisnya. Jadi untuk kendaraan komersial agak berbeda," ujar Donny.

Saat disinggung apakah pajak 0 persen bisa mempengaruhi penjualan, Donny menegaskan hal tersebut bisa menjadi salah satu solusi memperbaiki market otomotif.

"Iya bisa membantu meningkatkan volume penjualan. Ini tergantung dari besaran relaksasi yang diberikan. Contoh PPNBM 10 persen tapi 10 persen itu dari COGS (cost of goods sold) bukan dari harga On The Road. Jadi 10 persen COGS jadi harga tebus dealer ditambah biaya angkut dan BBN," tutur Donny. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya