Akhiri Polemik, Pemerintah Diminta Sosialisasikan UU Cipta Kerja Secara Masif

Penolakan UU Cipta kerja dinilai wajar terjadi karena kurangnya sosialisasi secara masif.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Okt 2020, 11:45 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2020, 11:45 WIB
FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) memberikan pandangan akhir pemerintah mengenai UU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri dan Mantan Rektor Pertama Universitas Pertahanan (Unhan) (2009-2012) Profesor Syarifuddin Tippe menyatakan bahwa letupan dan penolakan Undang-Undang Cipta kerja atau Omnibus Law wajar terjadi karena proses awalnya yang kurang massif dalam hal sosialisasi dan kondisnya kurang tepat karena masyarakat tengah berkonsentrasi menghadapi pandemic Covid-19.

“Saya tidak begitu paham tentang content atau subtansi sebuah undang-undang. Yang kita pahami adalah setiap undang-undang yang dibuat, pasti ada pihak yang kontra, itulah pentingnya dialog dan menyikapi semua isu di media sosial dengan arif dan bijak,” katanya di Jakarta, Senin (12/10/2020).

Ia menegaskan, hanya merujuk dari apa yang bergulir di medsos, muncul letupan baru muncul Pidato Pak Jokowi. Meskipun demikian, Profesor Syarifuddin Tippe mengapresiasi pidato Presiden Jokowi tersebut.

"Sebaiknya, sosialisasi omnibus law ini gencar dan massif lagi, tidak harus presiden yang bicara, bisa saja Menteri terkait atau DPR RI, karena setelah Pidato Jokowi kemarin, publik bisa lebih memahami apa sisi kritis dari Undang-Undang cipta kerja ini,” katanya.

Lebih lanjut, Guru Besar Manajemen Stratejik Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Negeri Jakarta ini melihat dari sisi bela Negara bahwa semua pihak, baik pro dan kontra, kurang cinta kepada Negara.

"Sebagai pencetus dari perumus kebijakan dalam melaksanakan segala sesuatu itu harus tanpa pamrih, dia rela mengabdikan apa yang ada pada dirinya, termasuk amanah yang dberikan oleh Allah SWT untuk menjadi sesuatu, baik sebagai pemimpin kelas atas, menengah atau dibawah sekalipun,” katanya.

"Hemat saya, sebaiknya Pemerintah instropeksi dalam setiap momen mengeluarkan kebijakan harus selalu merangkul berbagai pihak secara komprehesif dan memperhatikan faktor sejarah perburuhan dengan baik,” lanjut dia.

Dalam memasuki era perang informasi, Pakar Bela Negara ini menyatakan bahwa cermati medsos secara bijak.

“Jangan terburu-buru bersikap. Apalagi tindakan yang dapat memperuncing perbedaan, sikapi setiap kebijakan dengan positive thinking, termasuk undang-undang omnibus law, yang menggabungkan 11 urusan, kalau saya lihat dari pidato Pak Jokowi semua positif. Tapi kita tidak tahu nanti pelaksanaannya bagaimana. Saya berharap pelaksanaannya harus sesuai dengan prinsip bela Negara dan mengedepankan kepentingan masyarakat sebagai warga Negara,” katanya.

Ia juga menekankan semua pihak untuk bijak dalam bermedsos. "Apa yang kita terima di media sosial, jangan langsung kita forward, tapi lihat, pelajari, filter dulu sebelum disebar. Sebaiknya, mereka yang paham akan isu-isu sensitf juga langsung share, tanpa memahami isinya secara komperehensif. Dan disebar ke media sosial yang tingkat pemahamannya berbeda antara satu dan yang lain. Ini bisa menimbulkan miss persepsi dalam menerima dan melihat sesuatu,” katanya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Harus Libatkan Semua Pihak

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Ratusan elemen buruh dari berbagai organisasi melakukan aksi demo menolak UU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Dia menjelaskan jika sejak awal perumusannya melibatkan publik secara luas. Saat perumusan Omnibu Law ini, katanya, sudah terjadi pro dan kontra yang tidak dipecahkan secara tuntas dan bicara lingkungan atau impact kebijakan dan terkait saat ini sedang pandemic dan ini harus jadi kesatuan.

"Saya termasuk yang kurang paham bagaimana kebijakan tersebut dirumuskan dan disosialisasikan di tengah masyarakat tengah mengalami keterbatasan gerak karena efek pandemi, bisa jadi saat sosialisasi kebijakan ini kurang tepat, kurang bijak atau tidak komprehensif melibatkan semua unsur,” katanya.

Profesor Syarifuddin mencontohnya ketika saat dirinya menjabat Dan Seskoad dan akan menggelar acara mendatangkan KASAD di Bandung untuk ceramah wawasan kebangsaan, yang bersamaan dengan aksi mahasiswa mengenang peristwa Mei 1998.

"Saya tidak memanggil mereka, saya datangi mereka dan menghormati mereka, saya kemas dengan baik supaya jangan ada konflik, dan ternyata mereka paham dan esok acara longmarch mereka berjalan lancar dan aman, kami pun bisa mengelar acara keesokan harinya,” ujar Ketum FSBPN (Forum Silaturahmi Boemi Putra Nusantara) ini.

Prinsip bela Negara yang dikatakannya mengacu lima hal. Pertama pancasila, kedua kesadaran berbangsa, ketiga cinta tanah air, keempat rela berkorban dan kelima tanpa pamrih.

Terakhir, ia berpesan sebaiknya berkaca pada sejarah, terutama perumus kebijakan dan impelementator kebijakan dan kita semua sebagai masyarakat, mari kita waspada karena bangsa Indonesia yang besar secara kuantitas SDM dan SDA-nya pasti ada saja ancaman yang akan memecah belah kesatuan bangsa, bisa saja baik secara internal atau pun eksternal, bahkan bisa saja eksternal memanfaatkan internal untuk menggembosi kebesaran bangsa ini.

“Saya berharap TNI, Polri, dan semua kesatuan strategis bangsa untuk memperkokoh dalam kesatuan dan persatuan yang mutlak, kalau kita saling sikut menyikut, saling iri hanya karena kekuasaan, sungguh kerdilnya kita. Jaga bangsa ini dari ancaman internal dan eksternal, luar biasa besarnya bangsa ini. Kekuatan kita ada di masyarakat, semua komponen strategis bangsa ini harus bersatu jangan mau diadu domba oleh sebuah kepentingan yang tidak jelas siapa yang punya. Semua menahan diri,” demikian ia menghimbau.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya