Liputan6.com, Jakarta - Undang-Undang (UU) Cipta Kerja telah resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin 2 November 2020. Pada tanggal yang sama, UU sapu jagat ini juga telah diteken oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
UU Cipta Kerja yang sudah resmi ini berisi 1.187 halaman. Sebelumnya sempat terjadi beberapa kali perubahan meskipun sudah disahkan DPR pada 5 Oktober 2020. Sempat beredar draf 812 halaman, 905 halaman, 1.035 halaman, hingga ada yang sampai 1.187 halaman.
Pengesahan UU Cipta Kerja ini cukup kontroversial karena disebut diam-diam oleh para buruh. Namun berbeda, para pengusaha menyatakan pembuatannya sangat terbuka.
Advertisement
Lengkapnya, berikut ini fakta-fakta mengenau UU Cipta Kerja yang sudah tandatangani oleh Jokowi:
Resmi Ditandatangani
Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi menandatangani UU Cipta Kerja, Senin (2/11/2020). Pada tanggal yang sama, UU ini juga diteken oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
UU Cipta Kerja diundangkan dalam Nomor 11 tahun 2020. Adapun naskah UU Cipta Kerja ini setebal 1.187 halaman.
"Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," bunyi Pasal 186 sebagaimana dikutip Liputan6.com dari salinan UU Cipta Kerja, Senin (2/11/2020).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Disetujui DPR Lebih Cepat
RUU Cipta Kerja resmi mendapat persetujuan dari DPR pada Rapat Paripurna, Senin 5 Oktober 2020. Pengesahan ini dikebut lebih cepat dari jadwal awal yang diagendakan pada Kamis 8 Oktober 2020.
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, dalam pengesahan ini terdapat enam fraksi menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan dua fraksi menolak.
"Mengacu pada pasal 164 maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!" kata Aziz dalam sidang rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Mewakili pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyambut baik dan mengucapkan terima kasih, apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ketua dan wakil ketua panitia kerja RUU Cipta Kerja, badan legislatif, legislasi DPR, yang telah melakukan proses pembahasan dengan berbagai pandangan masukan dan saran yang konstruktif.
Advertisement
Fraksi Partai Demokrat Walk Out
Di tengah pembahasan pengambilan keputusan pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna Senin 5 Oktober 2020, fraksi Partai Demokrat memutuskan walk out dari Rapat Paripurna setelah beradu argumen dengan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.
"Kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman dalam rapat, Senin (5/10/2020).
Sebelumnya Azis menyatakan, semua fraksi telah menyampaikan sikapnya terhadap RUU Cipta Kerja. Kemudian, pimpinan DPR meminta persetujuan untuk mengubah RUU menjadi UU.
Namun di tengah-tengah, Benny melakukan interupsi dan meminta waktu berbicara. Azis sebagai pemimpin rapat tidak memberikan waktu yang diminta, sehingga adu argumen pun tak terelakkan.
Azis mengingatkan jika Benny terus menginterupsi maka dirinya bisa dikeluarkan dari rapat. "Nanti Bapak bisa dikeluarkan dari rapat ini," kata Azis.
Namun Benny bersikeras untuk meminta waktu, begitu juga Azis yang menegaskan dirinya sebagai pemimpin rapat yang mengatur jalannya rapat. Akhirnya, Benny melakukan walk out.
Ditolak Buruh
Sebelum menolak UU Cipta Kerja, perwakilan buruh ikut berdiskusi dalam pembahasan, namun dari keenam konfederasi buruh yang dilibatkan pemerintah dua diantaranya melakukan walk out. Keduanya adalah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Akhirnya, sebanyak 32 federasi dan konfederasi serikat buruh bergabung dalam unjuk rasa serempak nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020 yang diberi nama mogok nasional setelah UU Cipta Kerja di sahkan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyebut mogok nasional ini dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4 yang menyebutkan, fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
Dia menyebut, mogok nasional ini akan diikuti 2 juta buruh yang meliputi pekerja dari sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen, elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, dan perbankan.
“Jadi provinsi-provinsi yang akan melakukan mogok nasional adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Lampung, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat,” ujarnya.
Advertisement
Tersebar banyak draf
Draf awal UU Cipta yang tersebar adalah 1.028 lembar. Draf ini semula diunggah dalam situs Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Lalu setelah disetujui oleh DPR, draf yang beredar berubah yakni menjadi 905 halaman. Naskah dengan jumlah halaman ini beredar sebagai draf final RUU Ciptaker yang dibacakan pada saat Rapat Paripurna.
Tak lama kemudian, naskah yang dianggap final tersebut berubah lagi menjadi 1.035 halaman. Naskah terbaru tersebut pun dikonfirmasi langsung oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan PP Muhammadiyah menerima naskah final UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman dari Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
Wakil Ketua Umum MUI Muhyidin Junaidi mengatakan ada dua tipe naskah UU Cipta Kerja yang diberikan Pratikno, yakni berupa hard copy dan soft copy.
"Menteri Pratikno, Mensesneg menyerahkan naskah asli Undang-Undang Cipta Kerja itu ada dua. Pertama, yang hard copy, yang kedua yang soft copy. Yang soft copy-nya 1.187 halaman sementara yang hard copy nya 1.053 halaman," jelas Muhyidin saat dihubungi Liputan6.com.
Masih Ada Typo
Sekjen DPR Indra Iskandar menyatakan bahwa jumlah halaman UU Cipta Kerja berubah-ubah karena masih dalam tahap finalisasi.
Indra Iskandar menyatakan draft RUU Cipta Kerja saat ini masih dirapikan atau diedit oleh Badan Legislasi (Baleg).
Meski masih diedit, ia menyebut tidak ada perubahan substansi dalam draft tersebut, melainkan hanya pengaturan radaksional atau typo saja.
“Enggak ada (perubahan substansi). Itu hanya typo dan format. Kan format dirapikan kan jadinya spasi-spasinya kedorong semuanya halamannya,” kata Indra.
Namun ternyata, typo tersebut masih ada meskipun sudah ditandatangani oleh Jokowi. Dalam unggahan akun twitter @FPKSDPRRI, terdapat kejanggalan di beberapa pasal yang ada.
"SUBUH, baca baru sampai halaman 6, kenapa ada pasal rujukan tapi tidak ada ayat," tulis akun resmi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tersebut.
Dalam bab III Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha Pasal 6 di bagian Kesatu Umum disebutkan bahwa "Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a meliputi: (Ada 4 rincian).
Namun jika melihat pasal 5 tidak ada ayat apapun. Pasal 5 tersebut berbunyi, "Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait".
Advertisement
Kembalikan rezim upah murah
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menilai berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan sistem pengupahan pada rezim upah murah.
“Berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka,” kata Said, di Jakarta, Selasa (3/11/2020).
Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi, dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
“Penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh,” katanya.
Menurutnya penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
“Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. JIka hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” ujarnya.
Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.
Dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk.
Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.
Digugat ke Mahkamah Konstitusi
Sejumlah elemen buruh resmi mendaftarkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Gugatan ini diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) versi Andi Gani Nena (AGN).
"Pendaftaran gugatan JR (judicial review) UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 sudah resmi tadi pagi didaftarkan ke MK di bagian penerimaan berkas perkara oleh KSPI dan KSPSI AGN," kata Presiden KSPI Said Iqbal kepada Liputan6.com.
Said menyatakan, KSPI bersama buruh Indonesia secara tegas menolak dan meminta agar UU Cipta Kerja dibatalkan atau dicabut.
Menurut dia, isi UU Cipta Kerja merugikan para buruh.
"Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata dia.
Advertisement
Diusulkan oleh Menko Luhut
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengakui jadi salah satu pencetus lahirnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Banyaknya aturan yang tumpang tindih di Indonesia, menjadi dasar dia mencetuskan ide tersebut.
"Ini terus terang jujur, saya mulai waktu saya mulai waktu saya Menkopolhukam waktu itu saya melihat betapa semrawutnya UU peraturan kita yang ada sekian puluh itu satu sama lain saling tumpang tindih," kata Luhut, kemarin.
Dengan adanya kesemrawutan aturan tersebut, dia menilai, praktik korupsi akan semakin tinggi. Tidak hanya itu inefisiensi akan terjadi di mana-mana.
Dengan adanya ide tersebut, Luhut kemudian bertemu Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie, serta Sofyan Djalil di kantornya untuk berdiskusi untuk membuat aturan lebih ringkas. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih.
"Waktu itu saya kumpulkan Pak Mahfud, dan juga Pak Jimly Ashdiiqi Seno aji, pak Sofyan Djalil dari kantor saya ada pak Lamboko untuk mendiskusikan bagaimana caranya karena kalau satu persatu uu itu di revisi enggak tahu sampai kapan selesainya," terang dia.
Kemudian muncul gagasan Omnibus Law dari Sofyan Djalil yang pernah mengeyam pendidikan di Amerika Serikat. Luhut menjelaskan aturan tersebut bisa menyelaraskan isi aturan UU sehingga tidak saling tumpang tindih.
"Nah itu kemudian karena kesibukan sana sini belum terjadi baru mulai dibicarakan kembali oleh pres akhir tahun lalu dan itulah sekarang buahnya sekarang jadi itu proses panjang bukan proses tiba-tiba," tutup Luhut.