Liputan6.com, Jakarta - Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang telah resmi diundangkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 terus menuai sorotan. Tak hanya mendapat kritikan, sejumlah warganet atau netizen juga ramai membuat celotehan soal pasal terkait minyak dan gas bumi (migas) di UU Cipta Kerja.
Netizen mengomentari definisi yang berputar-putar seputar minyak dan gas bumi. Pengertian itu termuat dalam Bagian Keempat tentang Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi, Paragraf 5, Energi dan Sumber Daya Mineral, Pasal 40, yang tercantum di halaman 223.
"Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi," tulis poin 3 di Pasal 40 UU Cipta Kerja.
Advertisement
Pengertian tersebut turut mengundang publik untuk bersuara. Banyak di antaranya yang coba memahami maksud dari poin tersebut dengan membuat jokes.
"Mungkin biar nggak disangka minyak goreng dan gas bumi," tulis akun Twitter @gegerriy, Selasa (3/11/2020).
Celotehan lainnya juga dibuat oleh akun @word2trash, yang mengatakan, "Harusnya minyak dan gas bumi adalah milik Allah."
Adapun definisi tersebut sebenarnya tidak mengalami perubahan dari UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Oleh karenanya, beberapa netizen coba memaklumi pencantuman definisi minyak dan gas bumi tersebut di dalam UU Cipta Kerja.
Seperti diungkapkan akun @AriefMD07, yang coba menekankan bahwa minyak bumi dan gas bumi memang memiliki tafsiran berbeda. Ia pun turut mencantumkan definisi terkait keduanya yang tertera pada halaman 222 dan 223 UU Cipta Kerja.
"Nih aku tampilin utuh pasalnya. Itu memang bahasa hukum/kontrak. Jadi pasal 1 poin 3 itu menjelaskan bahwa frase "minyak dan gas bumi" bermakna minyak bumi dan gas bumi. Dimana minyak bumi punya definisi tersendiri, dan gas bumi pun juga begitu," tuturnya.
Pembelaan juga turut dilontarkan akun official @gitaputrid. Menurut dia, pengertian soal minyak dan gas bumi ini guna menekankan maksud yang tercantum pada UU Migas sebelumnya.
"Definisi minyak dan gas bumi ini merujuk rumusan untuk menjelaskan konteks yang ada di UU Migas 22/2001. Bisa ngakak di soal lain, tapi bukan yang ini gengs," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
UU Cipta Kerja: Pengusaha Mikro Tak Perlu Tunduk Aturan UMP
Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja telah resmi diundangkan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020. Bab IV mengenai Ketenagakerjaan jadi salah satu poin yang paling mendapat banyak sorotan. Terutama pada Pasal 88C terkait penetapan upah minimum.
Dalam Pasal 88C ayat (1) disebutkan, upah minimum provinsi (UMP) wajib ditentukan oleh gubernur. Sementara di ayat (2) tertulis bahwa gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan syarat tertentu.
Adapun penetapan UMK pun harus lebih besar dari upah minimum provinsi yang telah ditetapkan masing-masing gubernur. Ketentuan ini tertera di ayat (5) Pasal 88C UUÂ Cipta Kerja.
"Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi," tulis ayat (5) Pasal 88C dalam salinan resmi UU Cipta Kerja yang diterima Liputan6.com, Selasa (3/11/2020).
Ketentuan ini bersifat mutlak. Sebab, merujuk pada Pasal 88E ayat (2), pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Kendati demikian, pemberlakuan upah minimum baik di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota rupanya tidak berlaku bagi beberapa pekerja di sektor tertentu. Menurut Pasal 90B ayat (1), ketentuan upah minimum ini dikecualikan bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
"Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkanberdasarkan kesepakatan antara pengusaha danpekerja/buruh di perusahaan," bunyi ayat (2) Pasal 90B UU Cipta Kerja.
Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat(2) tersebut sekurang-kurangnya diberikan sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat. Itu berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
"Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah," tulis ayat (4) Pasal 90B UUÂ Cipta Kerja.Â
Advertisement