Rumitnya Akuisisi KCI oleh MRT Jakarta

Rencana akuisisi PT KCI yang dilakukan PT MRT Jakarta dinilai kurang tepat

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jan 2021, 13:20 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2021, 13:20 WIB
Ada Pergantian Wesel, KRL Beroperasi Hanya Sampai Stasiun Manggarai
Kereta commuter line melintas di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (13/2/2020). PT KCI melakukan rekayasa perjalanan KRL Bogor dan Bekasi terkait penggantian wesel atau persimpangan rel di stasiun Gambir dan Jakarta Kota. (merdeka.com/Magang/Muhammad Fayyadh)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana akuisisi PT KCI yang dilakukan PT MRT Jakarta dinilai kurang tepat bila dilakukan dengan landasan hasil rapat terbatas yang digelar Presiden Joko Widodo pada 8 Januari 2019 lalu. Pasalnya, hasil rapat tersebut membahas cara mengatasi kemacetan di Jakarta.

Salah satu solusi yang dihasilkan dalam rapat tersebut dengan mengelola moda transportasi di ibukota dapat diserahkan kepada DKI Jakarta. Alasannya karena DKI Jakarta dinilai memiliki APBD yang besar dan bisa melakukan pengintegrasian moda transportasi.

"Arahan ratas 8 Januari itu pinnya pengelolaan moda transportasi ini dapat (diserahkan kepada DKI Jakarta), bukan harus Kementerian BUMN ini kasih saham mayoritas atau bikin joint venture," kata Direktur Keuangan PT KAI, Salusra Wijaya, dalam Webinar Serikat Pekerja Kereta Api bertajuk Integrasi Atau Akuisisi, Jakarta, Rabu, (20/1/2021).

Namun, hasil ratas tersebut direspon berbeda. Dalam melakukan pengintegrasian moda transportasi justru lahir rencana akuisisi PT KCI dari PT KAI yang dilakukan PT MRT Jakarta.

Dalam akuisisi PT KAI dan PT MRT Jakarta sepakat melahirkan perusahaan baru bernama PT MITJ yang ditunjuk sebagai pelaksana integrasi moda transportasi. Dalam perusahaan ini PT MRT Jakarta memiliki saham 51 persen dan PT KAI menyumbang saham 49 persen.

Akuisisi perusahaan BUMN oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini pun hanya berlandaskan rapat terbatas yang dilakukan Presiden pada 8 Januari 2019.

PT MITJ pun mengakui hasil ratas tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum proses akuisisi tersebut karena harus menunggu sampai ada Peraturan Presiden (Perpres) yang diterbitkan.

"Event dari lawyer MITJ ini menunjukkan, ratas ini tidak punya kekuatan hukum sampai ada Perpres. Tapi kalau ini dikeluarkan ini bakal menunggu BPTJ," kata dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perlu Undang-Undang

FOTO: Penerapan Protokol Kesehatan di Stasiun Jakarta Kota
Calon penumpang duduk di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta, Rabu (28/10/2020). Mengantisipasi lonjakan penumpang saat cuti bersama dan Sumpah Pemuda, PT KCI mengajak pengguna KRL bersatu dan bangkit melawan COVID-19 dengan menerapkan 3M. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara itu, pihak BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) menilai penunjukkan tersebut tidak cukup dengan penerbitan Perpres. Melainkan perlu dengan undang-undang yang disahkan DPR. Alasannya penunjukkan tersebut bukan dilakukan anak perusahaan BUMN atau BUMD.

"Kalau UU ini kan bukan masalah Perpres dari presiden tapi juga DPR, artinya PR-nya bakal panjang, dan di DPR juga bukan pekerjaan mudah," kata dia.

Padahal, lanjut Salusra keinginan presiden kala itu hanya mengatasi kemacetan di Jakarta. Agar ada pihak yang bertanggungjawab dalam prosesnya sehingga lebih mudah dikontrol, tidak tumpang tindih, tidak membuat pemborosan dan masalah utamanya teratasi.

"Ini kan yang penting tidak macet, tidak polusi dengan biaya semurah-murah mungkin buat publik," kata dia.

Sehingga Presiden menginginkan adanya integrasi moda transportasi. Integrasi tersebut bisa dilakukan secara fisik baik terkait pertiketan dan penyedia layanan ini harus terintegrasi.

Proses integrasi tersebut juga diharapkan secara proper dan kondusif. Bila porsenya bisa berjalan, Salusra pun mempertanyakan urgensi akuisisi perusahaan.

"Kenapa harus ada pengalihan saham? Harus mayoritas 51 persen? Ini jadi tantangan luar biasa," kata dia.

Anisyah Al Faqir

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya