Tren Investasi Turun, Pembangkit Energi Fosil Bakal Tak Laku Lagi

Tren investasi di pembangkit termal utamanya PLTU batubara mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

oleh Athika Rahma diperbarui 25 Jan 2021, 16:20 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2021, 16:20 WIB
PLTU Suralaya yang dioperasikan oleh Indonesia Power. (indonesiapower.co.id)
PLTU Suralaya yang dioperasikan oleh Indonesia Power. (indonesiapower.co.id)

Liputan6.com, Jakarta - Transisi energi dinilai penting dan harus segera direalisasikan. Isu lingkungan terutama perubahan iklim menjadi urgensi transisi energi ini, namun dampaknya juga akan terasa di sisi ekonomi terutama bagi negara berkembang yang masih tergantung energi fosil.

Pasalnya, laporan International Energy Agency (IEA) menunjukkan, tren investasi di pembangkit termal utamanya PLTU batubara mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

"Ini perlu dicermati, terutama dalam pembahasan RUPTL sekarang, pemerintah atau PLN masih mau membangun PLTU dalam 10 tahun mendatang, 2021-2030," ujar Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam konferensi pers daring, Senin (25/1/2021).

Kata Fabby, penurunan ini akan membawa banyak persoalan ke depan. Bukan hanya dari sisi lingkungan, yang mana akan menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan jumlah lebih banyak, namun dari sisi pembiayaan juga akan semakin sulit.

Investor, dalam jangka panjang, telah berencana untuk menanamkan modalnya pada sektor energi baru terbarukan (EBT), apalagi untuk negara maju yang memang sudah mencanangkan EBT sejak lama seperti Eropa.

"Karena pembiayaan jadi sulit, maka energi tersebut tidak akan murah dan mudah lagi," ujar Fabby.

Tahun lalu, lanjutnya, beberapa investor dari Jepang dan Korea sudah menyatakan tidak akan terlibat dalam pembangunan PLTU baru di negara berkembang. Padahal China, Jepang dan Korea adalah sponsor utama pembangunan PLTU di Indonesia.

"Ke depan, ini perlu upaya shifting dengan fokus pad EBT karena dari sisi investasi, resiko dan ketersediaan pendanaannya lebih banyak, baik saat ini maupun di masa yang akan datang," ujar Fabby.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Hingga Januari 2021, PLN Telah Uji Coba Co-Firing Biomassa di 32 PLTU

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang berkapasitas 3 x 25 Megawatt (MW) yang berlokasi di Desa Taman Ayu, Lombok Barat. (Dok PLN)
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang berkapasitas 3 x 25 Megawatt (MW) yang berlokasi di Desa Taman Ayu, Lombok Barat. (Dok PLN)

PT PLN (Persero) terus mengejar target uji coba co-firing biomassa pada 52 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara miliknya di 2024.

Direktur Mega Proyek PLN Ikhsan Assad melaporkan, hingga awal Januari 2021 ini, pihaknya telah melakukan uji coba co-firing biomassa pada 32 PLTU.

"Alhamdulillah per 5 Januari (2021) itu sudah nambah jadi 32 (PLTU) yang sudah diujicoba," kata Ikhsan pasca penandatanganan MoU secara virtual antara PLN, PTPN III dan Perhutani, Jumat (22/1/2021).

Menurut dia, penggunaan biomassa ini secara operasi tidak memiliki dampak terhadap PLTU yang dikelolanya. "Dari uji coba juga kita lihat justru ada penurunan emisi yang lebih baik," sambungnya.

Hingga akhir 2020, Ikhsan mengatakan, PLN sudah melakukan uji coba co-firing batubara di 29 PLTU, yang lokasinya tersebar mulai dari Kalimantan hingga Jawa.

"Dari 29 yang sudah uji coba itu kita ada 6 lokasi yang sudah diimplentasi atau commercial operation. Seperti di Paiton, Pacitan, PLTU Ciranjang, Suralaya, Ketapang, serta PLTU Sanggau di Kalbar," tuturnya.

Sebagai informasi, program co-firing biomassa ini merupakan langkah PLN untuk mendukung capaian target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025. Dengan melakukan co-firing di 52 lokasi PLTU, perseroan berharap dapat bantu menaikan bauran EBT sekitar 2 persen.

Secara keseluruhan, terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan co-firing biomassa. Pembangkit tersebut tersebar di 52 lokasi dengan total kapasitas 18.154 megawatt (MW).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya