Laut Indonesia Dinilai Rawan Tindak Pidana Kejahatan

Laut Indonesia saat ini semakin rawan dan sering dijadikan tindak pidana kejahatan

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Jan 2021, 19:30 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2021, 19:30 WIB
TNI Menangkap Dua Kapal Vietnam di Laut Natuna Utara.
TNI Menangkap Dua Kapal Vietnam di Laut Natuna Utara. (Dokumentasi: TNI AL).

Liputan6.com, Jakarta - Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menilai laut Indonesia saat ini semakin rawan dan sering dijadikan tindak pidana kejahatan. Tercatat selama bulan Januari 2021, ada 12 kejahatan maritim yang dilakukan kapal asing dan kapal Indonesia.

"Terdapat 12 kejahatan atau pelanggaran yang tertangkap aparat penegak hukum dengan melibatkan 10 kapal asing dan 3 kapal dalam negeri" kata Koordinator Nasional DFW Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa (26/1).

Atas kejadian tersebut, Abdi menilai hal ini mengindikasikan tingginya tingkat kerawanan laut Indonesia atas kegiatan kejahatan maritim (ocean crime). Modus kejahatan yang sering dilakukan antara lain illegal fishing, penyelundupan lobster, penyelundupan BBM dan penyelundupan narkoba.

Bahkan dia menyebut, jalur laut menjadi akses favorit dalam penyelundupan narkoba di Indonesia. Setidaknya tercatat 300 kilogram narkoba telah diselundupkan lewat jalur Aceh dan Selat Malaka.

"Tercatat 300 kg sabu-sabu dan jenis lainnya yang diselundupkan lewat laut melalui Aceh dan Selat Malaka," kata Abdi.

DWF Indonesia juga menemukan adanya unsur kesengajaan dan upaya melawan hukum nasional dan ketentuan internasional yang dilakukan oleh kapal asing yang melintasi perairan Indonesia. Antara lain Kapal riset China (Xiang Yang Hong 03 ), kapal ikan Taiwan (Hai Chien Hsing 20) dan 2 kapal tanker masing-masing MT Horse berbendera Iran dan MT Frea berbendera Panama memiliki modus yang sama yaitu mematikan Automatic Identification System (AlS).

Khususnya kapal ikan berbendera Taiwan Hai Chien Hsing 20 ditemukan telah cukup lama mematikan AIS selama melakukan operasi penangkapan ikan. "Kapal Hai Chien Hsing 20 terakhir kali mengaktifkan AIS sekitar 3 bulan lalu tepatnya 6 Oktober 2020)," kata dia.

Adapun ketentuan yang dilanggar yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis Bagi Kapal yang Berlayar Di Wilayah Perairan Indonesia, Konvensi Safety Of Life At Sea (SOLAS) dan Tokyo MoU. Menurut ketentuan ini ada ancaman sanksi administrasi dan ancaman pidana jika terbukti melanggar hukum nasional.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Selat Natuna

(Foto: Dok Kementerian Kelautan dan Perikanan)
Kapal Pengawas Perikanan menangkap satu kapal perikanan asing (KIA) berbendera Vietnam di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara pada Jumat (8/3/3019) (Foto: Dok Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Peneliti DFW Indonesia, Baso Hamdani menjelaskan titik rawan kejahatan di laut Indonesia berada di perairan Selat Karimata, Laut Natuna dan Selat Malaka. Dia menyarankan agar kemampuan operasi Badan Keamanan laut (Bakamla) perlu ditingkatkan.

"Kemampuan dan kapasitas Bakamla saat ini hanya 30 persen dari kebutuhan ideal sehingga perlu ada dukungan dan upaya meningkatkan kemampuan operasional Bakamla," kata Baso.

Dia mengingatkan eskalasi dan ketegangan di Laut China Selatan juga akan berdampak pada Indonesia terutama di Natuna. Sehingga pemerintah perlu mengantisipasi pembangunan di Natuna.

Caranya, dengan mendorong semua sektor pembangunan agar bisa bersinergi. Selain itu, pendekatan keamanan dan kesejahteraan juga harus berjalan beriringan. Sebab hal ini dinilai masih belum terlihat.

"Pendekatan keamanan dan kesejahteraan mesti berjalan bersamaan di Natuna. Ini yang belum nampak," kata dia mengakhiri.

Anisyah Al Faqir

Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya