Liputan6.com, Jakarta - Proyek Jalan Tol Trans Sumatera kini terancam tertunda akibat PT Hutama Karya (Persero) selaku pengelola jalan tol tersebut defisit dukungan dari Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 60 triliun.
Hutama Karya butuh penyuntikan dana Rp 60 triliun. Jika tidak, maka pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera terancam terhenti di tengah jalan.
Baca Juga
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno berpendapat, kelanjutan proyek Jalan Tol Trans Sumatera mungkin bisa terbantu melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) bernama Indonesia Investment Authority (INA).
Advertisement
"Cuman baru dapat info kalau SWF bisa dialihkan untuk bangun tol. Bisa jadi sumber dana baru," kata Djoko kepada Liputan6.com, Kamis (28/1/2021).
Kehadiran SWF yang rencananya bakal beroperasi di akhir Januari ini dianggap akan menjadi faktor penting untuk mengatasi gap finansial antara dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur dengan anggaran APBN yang terbatas.
Lembaga baru ini nantinya akan menarik investor asing untuk berinvestasi ke proyek infrastruktur seperti jalan tol melalui akuisisi proyek yang sudah operasional atau ikut dalam konsorsium untuk mendanainya.
Adapun bentuk keringanan yang bisa didapat yakni melalui divestasi aset jalan tol maupun partisipasi investor asing dalam permodalan dan pembangunan proyek baru ke depan.
Selain melalui SWF, Djoko menilai, kebutuhan dana dalam pengerjaan Jalan Tol Trans Sumatera juga bisa terbantu jika setelah beroperasi lalu lintas trafiknya cukup tinggi.
"Saya pikir PT Hutama Karya juga hitung ulang dalam hal efisiensi juga dalam pengerjaan Tol Trans Sumatera. Bisa saling subsidi silang nantinya dalam pengoperasian, atau masa konsesinya bisa diperpanjang," tutur Djoko.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kurang Dana Rp 60 Triliun, Proyek Tol Trans Sumatera Terancam Berhenti
Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengabarkan pengerjaan proyek Jalan Tol Trans Sumatera terancam tertunda. Ini lantaran PT Hutama Karya (Persero) selaku pengelola jalan tol tersebut defisit dukungan dari Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 60 triliun.
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Hedy Rahadian mengatakan, Hutama Karya butuh penyuntikan dana Rp 60 triliun tersebut. Jika tidak, maka pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera terancam terhenti di tengah jalan.
"Sekarang kalau tidak segera dipenuhi PMN-nya, otomatis bahasa langsung itu proyek konstruksi yang sekarang berjalan pun berhenti," kata Hedy dalam rapat bersama Komisi V DPR RI, Rabu (27/1/2021).
Hedy menyampaikan, Kementerian PUPR telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menambal kekurangan dana Rp 60 triliun tersebut.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian, bagaimana agar Rp 60 triliun ini bisa di-disburse secara cepat, dan sekarang kita sedang melakukan audit terhadap Trans Sumatera yang dilaksanakan Hutama Karya," paparnya.
Menurut dia, kebutuhan anggaran tersebut hanya berlaku untuk proyek yang sedang berjalan. Sedangkan untuk proyek sisa rencananya akan menggunakan anggaran dari Kementerian PUPR. Dengan syarat, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 117 Tahun 2015 harus terlebih dahulu direvisi.
Adapun Perpres tersebut menginstruksikan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera kepada Hutama Karya lewat skema penugasan yang meliputi pendanaan. Dengan demikian, regulasi tersebut harus diubah jika Kementerian PUPR ingin mendukung secara dana untuk proyek Jalan Tol Trans Sumatera.
Jika dihitung lebih jauh, total anggaran yang perlu dikeluarkan Kementerian PUPR untuk mendukung penyelesaian Tol Trans Sumatera mencapai Rp 148 triliun.
"Hutama Karya kelihatannya sudah kerepotan, sehingga muncul ide dukungan konstruksi yang tidak ada dalam Perpres sebenarnya. Jadi kalau dukungan konstruksi harus masuk, maka kita terpaksa mengubah Perpres mengenai Trans Sumatera ini, karena tiba-tiba butuh dukungan dari Bina Marga sebesar Rp 148 triliun hanya untuk Trans Sumatera," tutur Hedy.
Advertisement