Pandemi Covid-19 Bikin Laba Perbankan Melempem

Belum berakhirnya wabah pandemi Covid-19 membuat sejumlah industri di sektor jasa keuangan di Tanah Air terpuruk.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Feb 2021, 20:04 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2021, 19:55 WIB
Ilustrasi Bank
Ilustrasi Bank

Liputan6.com, Jakarta - Belum berakhirnya wabah pandemi Covid-19 membuat sejumlah industri di sektor jasa keuangan di Tanah Air terpuruk. Tak terkecuali industri perbankan. Sejak wabah Covid-19 masuk ke Nusantara pada Maret 2020, industri perbankan sulit untuk menggenjot kinerjanya.

Alhasil, di tahun lalu, kinerja sejumlah bank mencetak rapor merah. Kondisi itu tercermin dalam laporan keuangan tahunan yang dirilis sejumlah bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada tahun 2020, laba bersih bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) merosot dibandingkan tahun sebelumnya. Anjloknya laba bersih ketiga bank BUMN itu dipicu membengkaknya biaya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) atau provisi.

Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma mengatakan, melonjaknya biaya provisi disebabkan adanya upaya dari bank untuk mengantisipasi munculnya kredit macet karena tekanan pandemi.

"Bank-bank BUMN membentuk provisi untuk mengantisipasi kredit macet. Ini yang membuat laba bersih mereka turun di 2020," ujar Suria, Kamis (4/2/2021).

Perbankan, lanjut Suria, memang tidak salah untuk meningkatkan CKPN. Sebab, risiko kredit di sepanjang tahun lalu memang cukup tinggi. Banyak debitur bank, terutama para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) kesulitan membayar cicilan kredit lantaran bisnisnya terkena imbas pandemi Covid-19.

Meskipun, program restrukturisasi kredit telah digulirkan oleh bank. OJK mencatat, sejak diluncurkan pada 16 Maret 2020 hingga akhir Desember 2020, program restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai nilai Rp 971 triliun.

Program restrukturisasi ini diberikan kepada 7,6 juta debitur atau sekitar 18 persen dari total kredit perbankan. Sejalan dengan besarnya nilai kredit yang direstrukturisasi, kata Suria, maka laba bersih bank-bank BUMN pun ikut tergerus.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kinerja Bank

Ilustrasi bank
Ilustrasi bank (Sumber: Istockphoto)

Salah satu contoh bank BUMN yang mengalami penurunan laba yaitu Bank Mandiri sebesar 37,71 persen menjadi Rp 17,71 triliun di 2020. Namun laba bersihnya dinilai terkoreksi lebih kecil dibandingkan yang lain.

Pada 2019, laba bersih Bank Mandiri masih tercatat Rp 27,48 triliun. Penurunan penyaluran kredit Bank Mandiri di 2020 juga hanya 1,61 persen, jauh lebih baik ketimbang kontraksi yang dialami perbankan nasional sebesar 2,41 persen.

"Bank Mandiri tahun lalu agresif dalam mengembangkan layanan digital untuk kanal penyaluran kredit. Ini memberikan efek positif terhadap penyaluran kredit perseroan," kata Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe.

Kiswoyo menambahkan, pada tahun 2021 ini, penyaluran kredit perbankan bisa jauh lebih baik dibandingkan tahun 2020. Salah satu pemicunya, adanya kebijakan vaksinasi yang diterapkan pemerintah.

Indonesia merupakan salah satu dari 40 negara yang melakukan vaksinasi Covid-19 terlebih dahulu dibandingkan negara-negara lainnya. "Kebijakan vaksinasi ini akan meningkatkan kepercayaan pasar. Jadi, pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 seharusnya sudah bisa plus di kuartal pertama ini," imbuh Kiswoyo.

Seiring dengan membaiknya perekonomian, industri perbankan diproyeksi juga akan kembali pulih. Kinerja perbankan, terutama dari sisi laba, bakal ikut terdongkrak. Apalagi, kata Kiswoyo, di tahun 2020, banyak bank sudah melakukan pencadangan kerugian dalam jumlah besar.

Karena itu, menurut Kiswoyo, saham-saham bank Himbara masih layak koleksi. Dia menyebut, saham Bank BNI (BBNI), BRI (BBRI), dan Bank Mandiri (BMRI) masih akan terus mendaki.

"Saya merekomendasikan buy untuk saham BBNI dengan target harga hingga akhi tahun ini Rp 7.000, BBRI Rp 5.000 dan BMRI Rp 8.000," kata Kiswoyo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya