Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi tahun penuh 2020 minus 2,07 persen. Pada kuartal IV 2020, pertumbuhannya juga terkontraksi minus 2,19 persen. Dengan kata lain, Indonesia masih resesi.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudistira mengatakan, ada beberapa penyebab terkontraksinya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, salah satunya yaitu kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi Covid-19 sehingga masyarakat masih menahan untuk berbelanja.
Baca Juga
"Kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83 persen dari total konsumsi nasional. Untuk memulihkan permintaan kelompok ini kuncinya adalah penanganan pandemi, hal ini yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah," kata Bhima dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Jumat (5/2/2021).
Advertisement
Bhima melanjutkan, kebijakan New Normal yang dipaksakan terbukti blunder. Di satu sisi, ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan, namun di sisi lain PSBB jalan terus operasional berbagai jenis usaha dibatasi.
"Ini kebijakan abnormal. Kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun. Ada vaksin, ada new normal tapi kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen," katanya.
Bhima melanjutkan, meskipun ada vaksinasi yang mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir tahun 2020, tapi timbul pesimisme terkait jenis vaksin yang digunakan selain itu ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar.
Selain itu kembali diberlakukannya PPKM jilid I juga turut menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam. "Jadi optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," tandasnya.
Bhima juga bilang, penyebab lainnya ialah gelontoran stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terbukti kurang efektif karena dinilai salah perencanaan.
Lanjutnya, masalah utama dalam pandemi ialah kurangnya dukungan pada sisi demand policy, yakni perlindungan sosial (Rp 220,3 triliun) dan realisasi belanja kesehatan (Rp 63,5 triliun) yang masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain misalnya untuk pembiayaan korporasi (Rp 60,7 triliun), insentif usaha (Rp 56,1 triliun), sektoral K/L dan Pemda (Rp 66,5 triliun) dan insentif UMKM (Rp 112 triliun).
"Idealnya pemerintah mendorong sisi permintaan dibanding fokus pada sisi penawaran. Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha. Masalah utama ada di sisi lemahnya demand," jelasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
3 Sektor Penyebab Pertumbuhan Ekonomi Minus di Kuartal IV 2020, Apa Saja?
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 minus 2,07 persen. Secara kuartalan (qtq), pertumbuhan ekonomi juga terkontraksi 0,42 persen.
Kepala BPS Kecil Suhariyanto menyebutkan, dari sisi produksi secara kuartalan sebagian besar sektor di kuartal IV sudah mengalami pertumbuhan. Namun ada juga sektor yang masih tertekan. Sektor yang masih tertekan adalah industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan.
"Tetapi karena share dari tiga sektor ini dominan, menyebabkan pertumbuhan ekonomi kuartal IV secara kuartalan masih mengalami kontraksi tipis 0,42 persen," kata Suhariyanto dalam sesi teleconference, Jumat (5/2/2021).
Jika dilihat pada siklus tahunan, ia mengatakan, sektor pertanian memang selalu tumbuh negatif pada triwulan akhir karena adanya faktor cuaca atau pergantian musim.
"Misalnya saja yang paling nyata karena masalah musiman untuk sektor pertanian, dimana puncak musim panennya sudah jatuh di triwulan II dan III, dan triwulan IV mengalami penurunan sehingga kontraksi," jelas Suhariyanto.
Kendati demikian, dia mencatat sektor pertanian pada kuartal IV masih mengalami pertumbuhan positif 1,75 persen. Itu didorong oleh produksi palawija dan hortikultura yang naik untuk beberapa komoditas, seperti ubi kayu, kacang hijau, pisang, mangga, dan cabai rawit.
Sementara untuk sektor industri pengolahan memang terkontraksi minus 2,93 persen. Itu tercermin dari produksi LNG yang minus 6,63 persen, mobil minus 46,37 persen, sepeda motor minus 40,21 persen, dan semen minus 9,26 persen.
Senada, sektor perdagangan juga terkontraksi minus 3,72 persen. Itu disebabkan oleh penjualan mobil wholesale minus 48,35 persen, penjualan sepeda motor minus 43,57 persen, indeks penjualan riil suku cadang minus 23 persen, dan indeks ritel minus 12,03 persen.
Advertisement