Pengamat: Dampak PPnBM Nol Persen Optimal Jika Kondisi Ekonomi Sudah Pulih

kebijakan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) akan optimal jika sudah terjadi pemulihan kesehatan pasca pandemi Covid-19.

oleh Andina Librianty diperbarui 20 Feb 2021, 15:00 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2021, 15:00 WIB
Pemerintah Berencana Memacu Aturan Ekspor Industri Otomotif
Mobil siap ekspor terparkir di PT Indonesia Kendaraan Terminal, Jakarta, Rabu (27/3). Pemerintah berencana memacu ekspor industri otomotif dengan harmonisasi skema PPnBM, yaitu tidak lagi dihitung dari kapasitas mesin, tapi pada emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, mengatakan kebijakan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) akan optimal jika sudah terjadi pemulihan kesehatan pasca pandemi Covid-19.

Memasuki masa pemulihan tersebut, kebijakan-kebijakan pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi nasional akan terakselerasi.

"Ini akan optimal dengan pemulihan kesehatan, karena akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Paling tidak untuk pertumbuhan sektor tersebut," kata Riefky saat dihubungi Liputan6.com pada Sabtu (20/2/2021).

"Fundamentalnya tetap pemulihan kesehatan sangat memengaruhi kebijakan ekonomi. Jika ini jalan, maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan terakselerasi," sambungnya.

Pemerintah, kata Riefky, terus menyinergikan kebijakannya. Menurutnya, kebijakan insentif PPnBM 0 persen ini pun salah satunya didukung dengan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan, yang akan menurunkan suku bunga kredit. Namun, kebijakan ini akan optimal jika kondisi kesehatan karena pandemi Covid-19 juga membaik.

Konsumen dan investor masih wait and see untuk melakukan pembelian yang cukup besar saat ini. Ketika pemulihan ekonomi terjadi, maka demand akan mengalir.

"Kebijakan-kebijakan pemerintah sudah sinergi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," tuturnya.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan kebijakan insentif penurunan tarif PPnBM (diskon pajak) untuk kendaraan bermotor segmen ≤ 1.500 cc kategori sedan dan 4x2. Segmen kendaraan tersebut biasanya menargetkan kelompok menengah ke bawah, yang saat ini justru paling terdampak pandemi.

Terkait hal ini, Riefky menilai kebijakan pemerintah akan lebih ditujukan untuk kegiatan produktif. Artinya, pembeli mobil tersebut kemungkinan menggunakannya untuk kebutuhan bisnis seperti penyewaan kendaraan online dan operasional usaha mereka.

"Kebijakan ini sepertinya memang ditujukan untuk kegiatan produktif. Pembelinya lebih ke kelompok menengah atas untuk bisnis mereka," tuturnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Insentif PPnBM Mobil Tak Berpengaruh Besar ke Pendapatan Negara

Range Rover 3,0 L Jurus Jitu Tangkal PPnBM
Tarif PPnBM yang kini menjadi 125% turut memukul penjualan mobil dengan mesin berkapasitas besar.

Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mobil tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan negara. Pasalnya, tanpa pembebasan pajak pun, pembelian mobil saat ini sangat sedikit.

Hal ini diungkapkan oleh Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia(LPEM FEB UI), Teuku Riefky.

"Saya rasa dampaknya terhadap penerimaan negara tidak akan berpengaruh signifikan. Karena pajak tidak dibebaskan saja, pembeliannya sekarang juga sangat sedikit, jadi pos pendapatannya relatif kecil," kata Riefky saat dihubungi Liputan6.com pada Jumat (19/3/2021).

Diskon pajak tersebut juga tidak akan terlalu signifikan meningkatkan daya beli mobil. Kebijakan tersebut memang akan menarik minat beli, tapi kata Riefky, jumlahnya tidak akan tinggi.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan kebijakan insentif penurunan tarif PPnBM (diskon pajak) untuk kendaraan bermotor segmen ≤ 1.500 cc kategori sedan dan 4x2. Segmen kendaraan tersebut biasanya menargetkan kelompok menengah ke bawah, yang saat ini justru paling terdampak pandemi.

Terkait hal ini, Riefky menilai kebijakan pemerintah ini akan lebih ditujukan untuk kegiatan produktif. Artinya, pembeli mobil tersebut kemungkinan menggunakannya untuk kebutuhan bisnis seperti untuk sewa kendaraan online dan operasional usaha mereka.

"Kebijakan ini sepertinya memang ditujukan untuk kegiatan produktif. Pembelinya lebih ke kelompok menengah atas untuk bisnis mereka," tuturnya.

Upaya pertumbuhan ekonomi dari sektor manufaktur atau otomotif, dinilai akan lebih optimal jika diiringi dengan kondisi kesehatan masyarakat yang membaik dalam masa pemulihan pasca pandemi Covid-19.

"Paling tidak untuk pertumbuhan sektor tersebut, tapi mungkin tidak terasa ke seluruh sektor ekonomi," kata Riefky.

PPnBM Mobil Nol Persen Berlaku Mulai Maret 2021

Pemerintah Berencana Memacu Aturan Ekspor Industri Otomotif
Pekerja mengecek mobil baru siap ekspor di IPC Car Terminal, Jakarta, Rabu (27/3). Pemerintah berencana memacu ekspor industri otomotif dengan harmonisasi skema PPnBM, yaitu tidak lagi dihitung dari kapasitas mesin, tapi pada emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Mulai Maret 2021, pemerintah akan memberikan relaksasi pajak berupa PPnBM mobil nol persen yang akan dilakukan bertahap.

Kebijakan PPnBM ini dilakukan secara bertahap, dengan menargetkan pendapatan negara bertambah hingga Rp 1,4 triliun serta mendukung industri.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyambut baik usulan dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengenai relaksasi PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) ini. 

"Relaksasi PPnBM diusulkan untuk dilakukan sepanjang tahun 2021, dengan skenario PPnBM 0 persen (Maret-Mei), PPnBM 50 persen (Juni-Agustus), dan 25 persen (September-November)," demikian dikutip dari keterangan resmi Kemenko Perekonomian, seperti dikutip Jumat (12/2/2021).

Dengan skenario relaksasi PPnBM dilakukan secara bertahap, maka diperhitungkan dapat terjadi peningkatan produksi yang akan mencapai 81.752 unit.

Adanya relaksasi PPnBM mobil ini, estimasi terhadap penambahan output industri otomotif akan dapat menyumbangkan pemasukan negara sebesar Rp 1,4 triliun.

"Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp 1,62 triliun," ungkap Menko Airlangga.

Selain relaksasi PPnBM mobil, Usulan Perubahan PP 73/2019 Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2019 juga menjadi penting karena merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan Emisi Gas Buang yang bersumber dari kendaraan bermotor.

Peraturan tersebut diundangkan tahun 2019 dan akan diberlakukan pada Oktober 2021. "Perubahan PP ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan pemerintah, menurunkan emisi gas buang, dan meningkatkan pertumbuhan industri kendaraan bermotor nasional," jelas dia.

Revisi PP 73/2019 ini akan mengakselerasi pengurangan emisi karbon yang diperkirakan akan mencapai 4,6 juta ton CO2 pada tahun 2035.

Di samping itu, skema pajak PPnBM berbasis flexy engine (FE) dan CO2 berdasarkan PP 73/2019 akan mampu mendorong pertumbuhan kendaraan rendah emisi dengan memberikan gap pajak yang cukup dengan kendaraan konvensional, sekaligus meminimalkan penurunan industri lokal (teknologi konvensional) dengan menetapkan kisaran pajak sesuai daya beli masyarakat

Industri pendukung kendaraan listrik juga akan mengalami kenaikan dan diharapkan pada tahun 2025 produksi kendaraan atau mobil listrik nasional untuk roda 4 dapat mencapai 20 persen dari kapasitas produksi atau mencapai 400.000 kendaraan. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya