Diwarnai Pro dan Kontra, Kebijakan Impor Garam Sudah Tepat?

Pemerintah telah memutuskan untuk membuka keran impor garam pada 2021 ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Mar 2021, 10:30 WIB
Diterbitkan 18 Mar 2021, 10:30 WIB
Ironis Harga Garam Cirebon Anjlok Rp 100 per Kg
Petambak Garam Cirebon mengeluh harga jual yang anjlok ditengah melimpahnya hasil produksi. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah memutuskan untuk membuka keran impor garam pada 2021 ini. Keputusan itu telah disepakati dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi beberapa waktu lalu.

"Impor garam sudah diputuskan melalui rapat Menko (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi)," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, dikutip Kamis (18/3/2021).

Menteri Trenggono menyatakan, pemerintah saat ini masih menunggu data terkait kebutuhan garam di Indonesia. Impor garam yang dilakukan juga sesuai neraca perdagangan, sehingga kebutuhan garam dalam negeri bisa terpenuhi.

"Nanti misalnya kekurangannya berapa, itu baru bisa diimpor. Kita menunggu itu, karena itu sudah masuk dalam Undang-Undang Cipta Kerja," ujarnya.

Pada kesempatan terpisah, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, kualitas garam produksi domestik dinilai masih kurang untuk kebutuhan industri. Oleh karenanya pemerintah menyiasatinya dengan melakukan impor garam.

"Masalahnya bukan kapasitas produksi, tapi kualitasnya belum memadai untuk industri," sebut Agus Gumiwang kepada Liputan6.com.

Namun begitu, pemerintah disebutnya terus mendorong agar kualitas produk garam nasional bisa membaik untuk kebutuhan sektor industri.

"Tugas lintas kementerian/lembaga untuk mendorong agar kualitas (garam) bisa memenuhi standar industri," seru Agus Gumiwang.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Garam Rakyat Belum Terserap

Jerat Hutang Petani Garam Dan Turunnya Harga Jual
Tidak sedikit petambak garam di Cirebon berhutang kepada tengkulak sebagai pengikat agar hasil produksi garamnya tidak dijual ke luar. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Keputusan ini kontan saja diwarnai penolakan oleh sejumlah pihak. Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin mengingatkan bahwa produksi garam di rakyat masih banyak yang belum terserap. Sehingga seharusnya tidak dilakukan kebijakan impor tersebut.

"Garam di rakyat saat ini masih banyak yang belum terserap. Kalau impor diteruskan, ini sama saja menenggelamkan kehidupan petani garam secara pelan-pelan," keluh Andi.

Menurut dia, langkah impor garam ini jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan garam industri, tanpa memikirkan keberadaan garam rakyat yang mustinya ditingkatkan levelnya sehingga memenuhi syarat kebutuhan industri.

Senada, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP menyatakan kebijakan tersebut jadi pertanda bahwa pemerintah telah gagal meningkatkan potensi garam di tingkat nasional.

Anggota Komisi IV Fraksi PPP Ema Umiyatul Chusnah menyayangkan, Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia sepanjang 95.181 km ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan garam di dalam negeri.

"Dan memilih mengimpor garam ke negara-negara dengan garis pantai yang jauh lebih pendek dari negeri ini," tegas Ema.

Ema menilai, bukan hanya jumlah yang jadi persoalan produksi garam nasional. Namun juga kualitas yang dinilai masih di bawah standar, sehingga menjadi salah satu alasan impor.

"Masalah yang sudah terjadi bertahun-tahun seharusnya sudah mendapatkan solusi. BUMN terkait seperti PT Garam yang jelas-jelas harus maksimal melaksanakan fungsinya," tutur dia.

Keputusan Wajar

Panen Garam
Petani memanen garam di Sidoarjo, Jawa Timur, 16 September 2019. Menurut petani, meningkatnya produksi garam saat musim kemarau dari lima ton menjadi delapan ton per minggu, mengakibatkan harga garam di tingkat petani tradisional untuk kualitas nomor satu menurun. (Juni Kriswanto/AFP)

Meski demikian, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Dwi Andreas Santosa justru mewajari kebijakan pemerintah yang hendak membuka keran impor garam.

Dalam hal ini, ia mengambil contoh jumlah produksi garam nasional pada 2019 yang meningkat cukup tinggi hingga 2,9 juta ton karena musim kering berkepanjangan. Namun kemudian harus drop jadi sekitar 1,3 juta ton pada 2020 akibat musim hujan.

Di sisi lain, impor garam yang dilakukan pemerintah selama periode waktu 2019-2020 relatif stabil di kisaran 2,6 juta ton per tahun.

"Sehingga memang ada potensi kita akan kekurangan pasokan garam di tahun 2021. Karena drop-nya produksi di tahun 2020 itu belum ditutupi dari impor di tahun 2020," ujar Dwi Andreas kepada Liputan6.com.

Sementara itu, kebutuhan garam untuk konsumsi di Tanah Air juga cenderung stabil sekitar 4 juta ton per tahun. Produksi garam tersebut tak hanya dinikmati sebagai bumbu dapur saja, tapi juga dipakai untuk keperluan industri seperti makanan dan minuman hingga kosmetik.

"Sehingga kalau dari sisi konsumsi, itu stabil. Bahkan terus mengalami peningkatan dengan berkembangnya industri," kata Dwi Andreas.

"Sedangkan konsumsinya enggak fluktuatif. Kan harus pasok terus. Kalau nyayur juga harus pakai terus. Kemudian kalau produksi garam turun nyayur harus enggak pakai garam gitu? Kan enggak juga," jelasnya.

Oleh karenanya, Dwi Andreas mewajari keputusan impor garam yang dilakukan pemerintah untuk tahun ini. Dengan catatan, data yang digunakan untuk keperluan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan.

"Kebijakan impor garam, semoga data yang digunakan ini benar. Kalau itu benar it's ok, tapi kan seringkali namanya impor, apalagi disparitas harga antara impor dan yang tidak relatif tinggi," tuturnya.

 

Kualitas Perlu Ditingkatkan

Kualitas Garam Lokal Dinilai Belum Penuhi Standar Industri, Solusinya?
Sedikitnya 300 hektare tambak garam di Kabupaten Cirebon terkikis akibat abrasi tiap tahunnya. Foto : (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Lebih lanjut, Dwi Andreas juga menilai kualitas garam produksi lokal dan nasional saat ini memang masih kurang memadai untuk kebutuhan industri.

"Kita tahu bahwa hasil produksi garam rakyat tidak bisa langsung digunakan ke industri karena kandungan garamnya hanya sekitar 98 persen tingkat pemurniannya. Padahal industri menghendaki lebih dari itu," jelasnya.

Dwi Andreas memaparkan, produksi garam di Indonesia cenderung dilakukan di tempat terbuka (open pond), sehingga cenderung menggantungkan nasib pada cuaca. Dia lalu menceritakan produksi garam yang sempat mencapai masa puncak pada 2015 karena didukung faktor cuaca, namun tiba-tiba drop pada 2016 akibat musim kemarau panjang dan La Nina.

"Itu sejarahnya persis terulang. Tapi 2019 kemarin relatif kering dan 2020 tiba-tiba hujan sehingga produksi terganggu," ujar dia.

Faktor berikutnya yang turut mempengaruhi kualitas produksi garam yakni terkait harga. Dwi Andreas mengatakan, petambak cenderung baru akan memproduksi garam jika harga jualnya menarik.

"Kalau harganya terganggu dan bersaing dengan garam impor, ya sudah. Itu persoalannya," ungkap dia.

Menurut dia, Indonesia sebenarnya punya potensi sumber daya alam yang luas dengan memiliki salah satu garis pantai terpanjang di dunia. Jika saja itu bisa dimanfaatkan dengan baik, maka Indonesia bisa jadi salah satu pemain utama untuk produksi garam di tingkat global.

"Sudah barang tentu potensi itu betul-betul kita bisa manfaatkan ketika petambak garam ini mendapat kepastian bahwa ketika mereka memproduksi garam bisa terjual dengan harga yang pantas dan layak," kata Dwi Andreas.

"Sehingga pemerintah perlu membantu petambak-petambak rakyat ini untuk meningkatkan kapasitas mereka, sehingga kualitas garam yang dihasilkan meningkat. Ketika kualitas meningkat sehingga industri bisa menampung produksi mereka," tekannya.

Belajar dari India dan Australia

Garam Himalaya
Garam Himalaya. (Sumber: pixabay-minree)

Oleh sebab itu, Dwi Andreas menganggap skema tambak terbuka (open pond) yang diterapkan untuk produksi garam nasional saat ini masih tertinggal dari beberapa negara seperti India dan Australia. Alhasil, Indonesia masih perlu membuka keran impor garam untuk kebutuhan dalam negeri.

Dituturkannya, model produksi garam di Indonesia awalnya dilakukan dengan menyaring unsur dari air laut untuk kemudian dimasukan ke dalam satu tambak terbuka. Kemudian itu dikeringkan hingga hasil produksi garamnya bisa diambil.

"Itu pasti akan menghasilkan garam dengan kadar yang belum memenuhi persyaratan industri. Karena selain NaCl tercampur dengan beberapa unsur lainnya," terangnya.

Dia lantas mencontohkan produksi garam di India yang menggunakan skema multiple pond. Cara itu disebutnya berhasil mendongkrak produksi garam di negara tersebut.

"Kalau di banyak tempat di India misalnya, banyak juga petambak yang sudah mengembangkan double pond atau triple pond. Sehingga kualitas garam yang dihasilkan meningkat," bebernya.

Negara lain yang dikatakannya bisa jadi contoh penghasil garam kualitas wahid yakni Australia. Meski sama seperti Indonesia yang menerapkan skema tambak terbuka atau open pond, Negeri Kangguru tetap berhasil menghasilkan produk garam berkualitas.

"Australia juga menerapkan itu, dan mereka sangat konsisten kualitas garam yang dihasilkannya. Meskipun open pond kayak di Indonesia, tapi mereka menggunakan ponder bertingkat, tambak bertingkat," tuturnya.

"Maksudnya setelah diolah dari tambak A belum sampai dipanen, cairannya sudah dipindah ke tambak B, lalu kemudian dipanen, dilakukan pengeringan," tandas Dwi Andreas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya