Halau Impor, Kemenperin Usul Tarif Safeguard untuk Produk Kaos, Hijab hingga Gamis

Kementerian Perindustrian mengusulkan sejumlah tarif safeguard untuk produk-produk garmen impor guna melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Apr 2021, 14:00 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2021, 14:00 WIB
Program Daur Ulang Pakaian Girlfriend Collective Kurangi Limbah Tekstil
Ilustrasi pakaian bekas. (dok. Pixabay/Novi Thedora)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan sejumlah tarif safeguard untuk produk-produk garmen impor guna melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor yang menghimpit pelaku industri dalam negeri, terutama industri kecil dan menengah (IKM).

"Saat ini, prosesnya masih rekomendasi dari Kementerian Perdagangan ke Kementerian Keuangan. Masih ada satu tahapan lagi di Kemenkeu, baru dapat ditetapkan oleh Menteri," kata Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh dikutip dari Antara, Selasa (27/4/2021).

Elis mengatakan Kemenperin mengusulkan tarif safeguard bervariasi pada produk-produk garmen, misalnya untuk atasan casual yang di dalamnya termasuk produk T-shirt, diusulkan tarif Rp 27.000 untuk setiap produk impor yang masuk.

"Jadi, ketika ada atasan casual dari China sebut saja, masuk dengan harga Rp 20.000, dikenakan safeguard Rp 27.000, harga yang masuk ke Indonesia menjadi Rp 47.000," papar Elis.

Dengan harga demikian, Elis mengatakan bahwa industri dalam negeri mampu memproduksi jenis pakaian serupa, bahkan dengan harga yang relatif lebih murah yakni Rp 40.000, sehingga produksi dalam negeri dapat bersaing di tingkat harga yang relatif sama.

Selain itu, untuk produk outer seperti jaket, Kemenperin mengusulkan tarif safeguard sebesar Rp 63.000 per buah, di mana usulan untuk tarif outer merupakan yang tertinggi dibanding produk garmen lainnya. Bahkan, sebelumnya Kemenperin mengusulkan tarif Rp 79.000 untuk outer.

Usulan tersebut kemudian mendapat penolakan, terutama dari merek global yang telah beredar di Indonesia. Namun, Elis memastikan bahwa usulan itu akan melindungi industri nasional sekaligus tidak mengganggu merek global.

"Kalau naiknya harga (outer) untuk merek global, Zara misalnya, yang harga awalnya Rp 1.500.000, kemudian naik jadi Rp1.579.000, pasti tidak akan pengaruh. Tapi, kalau head to head dengan harga produk dari China, nah itu akan berpengaruh besar," ujar Elis.

Selain itu, untuk produk headwear atau hijab, tarif yang diusulkan adalah Rp19.800. Elis mengatakan serbuan impor hijab dari Negeri Ginseng harus betul-betul diantisipasi, terlebih harga hijab yang diimpor tanpa safeguard bisa mencapai Rp2.000 per buah.

"Harga dari impor itu Rp2.000, sementara produk hijab di Zoya atau El Zatta kan Rp78.000. Jadi, bagaimana mau beli produk dalam negeri kalau produk impornya saja harganya Rp3.000-Rp6.000," tutur Elis.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Produk Gamis

Kemenperin Akan Tingkatkan Daya Saing Industri Tekstil
Aktivitas jual beli bahan kain di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Kamis (1/4/2021). Kemenperin ingin meningkatkan daya saing industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional, salah satunya dengan berupaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku tekstil impor. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara untuk produk gamis, Kemenperin mengusulkan tarif sebesar Rp59.000, sebagai upaya untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai kiblat pakaian Muslim dunia.

"Selain itu, gamis dan terusan itu banyak yang diproduksi oleh IKM dalam negeri," tukas Elis.

Ia menambahkan Kemenperin memilih untuk mengusulkan harga pasti dan bukan persentase untuk tarif safeguard garmen, karena mekanisme tersebut dinilai lebih tepat sasaran ketimbang persentase.

"Kalau pakai persentase untuk garmen itu sulit, karena yang murah akan tetap dikenakan harga rendah, sementara yang mahal, misalnya produk sportware, itu akan kena tinggi sekali, padahal kita belum mampu memproduksinya di dalam negeri," kata Elis.

Adapun penentuan besaran tarif yang diusulkan tersebut diformulasikan dari perbedaan rata-rata harga impor dengan harga jual di dalam negeri.

"Harga rata-rata impor, kemudian harga jual di dalam negeri. Nah, perbedaan harga jual di dalam negeri dengan harga rata-rata impor tersebut dihitung perbedaannya berapa, itulah tarifnya," pungkas Elis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya