Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah masih menjalankan konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty. Program pengampunan pajak ini bergulir pada 2015 dan rencananya akan kembali dilanjutkan tahun ini.
“Kita terus melaksanakan konsekuensi dari tax amenesty tahun pajak 2015. Saya minta teman-teman pajak tetap melakukan yang sesuai dengan peraturan UU TA dan Peraturan pemerintah serta PMK nya dengan konsiten,” katanya dalam Peresmian Organisasi dan Tata Kerja Baru Instansi Vertikal DJP, secara virtual di Jakarta, Senin (24/5/2021).
Baca Juga
Sebagai informasi saja, setidaknya ada tiga konsekuensi tax amnesty yang di atur dalam Peraturan Pemerintah. Pertama, bagi peserta Amnesti Pajak yang dikemudian hari ditemukan harta yang belum diungkapkan dalam SPH. Apabila terbukti, maka yang bersangkutan dikenakan PPh final plus sanksi denda administrasi sebesar 200 persen.
Advertisement
Kedua, bagi peserta Amnesti Pajak yang gagal melaksanakan komitmen repatriasi atau investasi paling singkat tiga tahun di dalam negeri. Konsekuensinya, harta bersih tambahan yang diungkapkan dalam SPH dianggap sebagai penghasilan tahun pajak 2016 dan dikenai PPh serta sanksi sesuai aturan yang berlaku (2 persen per bulan).
Ketiga, bagi Wajib Pajak yang tidak ikut tax amnesty dan ditemukan harta yang belum diungkapkan dalam SPT tahunan PPh. Maka, konsekuensinya, harta bersih yang ditemukan dianggap sebagai penghasilan saat ditemukan dan dikenai PPh serta sanksi sesuai aturan yang berlaku (2 persen per bulan).
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kritik Pengamat: Tax Amnesty Jilid II Bikin Wajib Pajak Makin Tak Taat
Sebelumnya, Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengaku tidak sependapat dengan rencana Presiden Joko Widodo yang ingin kembali melakukan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Secara teori tax amnesty seharusnya hanya diberikan sekali seumur hidup.
Direktur Riset CORE, Piter Abdullah mengatakan, jika tax amnesty diberikan berulang kali maka akan kehilangan maknanya dan juga kredibilitas pemerintah. Sebab tax amnesty yang tadinya dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan justru akan membuat wajib pajak semakin tidak taat.
"Saya meyakini teori ini. Oleh karena itu saya sangat tidak sependapat dengan rencana tax amnesty jilid II," ujarnya kepada merdeka.com, Jumat (21/5/2021).
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy mengatakan, kebijakan tax amnesty ini seringkali dipergunakan sebagai salah satu bentuk dari reformasi pajak. Karena dari program tax amnesty pemerintah bisa memperbaharui database perpajakan mereka.
"Dan umumnya, tax amnesty dilakukan satu sekali saja, kalaupun lebih dari satu kali, dilakukan dalam range waktu yang panjang," jelasnya.
Dengan adanya wacana TA jilid II ini, tentu ini berbeda dengan pola umum selama ini, karena baru 5 tahun lalu pemerintah melaksanakan program tersebut. Pada saat itu juga pemerintah dalam beberapa kampanye menyampaikan kebijakan ini tidak akan dilakukan lagi.
"Jadi memang wacana TA jilid II, ini bertolak belakang dengan semangat TA jilid I ketika itu," jelasnya.
Dia menambahkan, jika argumen pemerintah tax amnesty sekarang membantu adalah proses pemulihan ekonomi, maka sangat tidak tepat. Karena selama ini pemerintah juga bisa memberikan insentif pajak dan sebenarnya ini juga sudah dilakukan.
Advertisement