Liputan6.com, Jakarta - Utang pemerintah yang mencapai telah Rp 6.527 triliun menjadi sorotan. Usulan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI lewat pinjaman utang ke luar negeri pun kian menambah kritik.
Terkait hal tersebut, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mengungkapkan bahwa besarnya utang pemerintah tidak bisa diukur dari kantong masyarakat. Karena jika merujuk pada Undang-Undang, maka utang pemerintah per April 2021 sebesar Rp6.527,29 triliun atau setara dengan 41,18 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih dalam kategori aman.
Utang pemerintah, kata Piter, jangan dilihat dari angka melainkan dari batasan yang telah ditentukan. Indonesia termasuk salah satu dari sedikit negara yang saat ini utangnya di bawah 60 persen dari PDB.
Advertisement
"Dalam UU, jelas bahwa batas defisit utang pemerintah itu dibatasi 60 persen dari PDB. Artinya kalau pakai logika pakai dokter itu, batas kolesterolnya itu 200, di bawah 200 itu aman," tutur Piter saat dihibungi Liputan6.com pada Selasa (8/6/2021).
Hal lain yang harus dilihat adalah kondisi pandemi Covid-19. Isu utang dan pandemi tidak bisa dilihat satu sisi.
"Isu mana yang lebih penting di tengah pandemi ini. Isu utangnya atau isu pandeminya. Karena ini sesuatu yang harus dilihat tidak bisa kita lihat secara satu sisi, apakah kita lebih mementingkan utang daripada kita mati kelaparan," ungkapnya.
Menurutnya di tengah pandemi ini terjadi inkonsistensi. Misalnya di satu sisi ketika pandemi, masyarakat meminta bantuan sosial. Namun di sisi lain justru mengimbau pemerintah untuk tidak berutang. Padahal kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam kondisi defisit.
Penerimaan pajak yang sering disebut untuk membayar utang tersebut, kata Piter, pada kenyataannya tidak mencukupi.
"Jadi daripada kita sibuk mengurus berapa besarnya utang, lebih baik kita berupaya produktif. Dengan produktif, kita bisa bayar pajak, sehingga kita bisa mengurangi utang. Itu kontribusi yang paling tepat," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pembelian Alutsista
Sikap inkonsisten ini pula yang terlihat dalam kritik terhadap rencana Kemenhan membeli alutsista lewat pinjaman utang ke luar negeri. Dana yang dibutuhkan mencapai Rp 1.788 triliun.
"Ini bentuk ketidak konsistenan kita. Kita ingin bangga dengan TNI kita, tapi di sisi lain begitu TNI bilang perlu alutsista, kita protes mahal sekali," kata Piter.
Terlepas dari harga alutsista yang memang mahal, Piter berharap ada transparansi dalam pengelolaan dana dan pembeliannya. Hal ini termasuk soal tender dalam pengadaan alutsista nanti.
"Cuman yang perlu kita minta adalah transparansi dalam pengelolaannya. Ini bukan masalah mahal, kalau mahal kita tahu memang mahal," sambung Piter.
"Jadi jangan melihat segala sesuatu pakai ukuran kantong kita, karena pasti tidak cukup untuk mengukur belanja negara. Tapi kita mengharapkan pemerintah akuntabel, bertanggung jawab," tutupnya.
Advertisement