Liputan6.com, Jakarta Praktisi perpajakan Ronsianus B Daur menilai, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sembako dan jasa pendidikan akan menimbulkan kesulitan baru dalam sistem pengadministrasian perpajakan Indonesia.
“Pengenaan PPN atas sembako dan jasa pendidikan agak susah dalam pengimplementasiannya nanti,” kata Ronsianus, Minggu (13/6/2021).
Ronsianus tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Staf ahli Menteri Keuangan Yustinus Prastowo bahwa pengenaan PPN terhadap sembako dan jasa pendidikan akan menghasilkan keadilan, melainkan hanya menimbulkan kesulitan baru.
Advertisement
“Bagaiman petugas pajak membedakan pelaku usaha yang mendistribusikan sembako premium dan tidak, juga membedakan mana sekolah yang mahal dan tidak. Orang tua rela melakukan apa saja demi memasukan anaknya di lembaga pendidikan yang bagus karena berkaitan dengan kualitas,” ujarnya.
Dia mengusulkan, jika Pemerintah ingin menata administrasi subjek dan objek pajak, bisa dimulai dari hal lain seperti bekerjasama dengan ditjen migrasi untuk mengetahui orang kaya yang sering ke luar negeri.
Atau bisa juga bekerjasama dengan Samsat untuk mengetahui kepemilikan mobil mewah, kerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengetahui kepemilikan tanah dan lainnya.
Hal inilah menurutnya yang menjadi prioritas, bukan pada hal yang mendasar seperti jasa pendidikan dan pengenaan PPN atas sembako.
“Jangan dimulai dari barang atau jasa yang sifatnya mendasar. Masih banyak hal lain yang menjadi skala prioritas kalau mau menata sistem pengadministrasian perpajakan kita,” pungkasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Anak Buah Sri Mulyani: PPN Sembako Ciptakan Keadilan bagi Masyarakat Kecil
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani (Stafsus Menkeu) Yustinus Prastowo menanggapi polemik atas rencana pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako. Menurutnya, kebijakan tersebut bagian dari reformasi sistem perpajakan.
Dia menjelaskan, pengenaan PPN untuk sembako diyakini akan mewujudkan sistem yang lebih adil antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Mengingat, skema penerapan tarif PPN hanya menyasar sembako dengan kategori tertentu.
"Saya beri contoh beras premium 1 kilogram Rp50 ribu enggak kena PPN, tapi kalo beli di pasar yang 1 kilogram Rp10 ribu itu juga tidak kena PPN. Pun, kalau membeli daging segar wagyu di supermarket itu tidak kena PPN sama juga kalau saya membeli ayam potong di pasar tradisional itu tidak kena PPN kan?," terangnya dalam diskusi virtual Polemik Trijaya, Sabtu (12/6/2021).
Artinya, kata Yustinus, sistem perpajakan di Indonesia masih belum adil bagi kelompok ekonomi bawah. Sekaligus juga membuat susah pemerintah dalam mengajak golongan kelas menengah atas untuk berkontribusi dalam meningkatkan penerimaan negara melalui kewajiban membayarkan pajak.
"Ini yang kita ingin atasi," ujar Anak Buah Sri Mulyani tersebut menekankan tentang PPN.
Lagi pula, tidak semua objek PPN akan serta merta di kenai pungutan. Semisal senjata asal impor bagi TNI/Polri karena bersifat strategis.
"Misalnya juga buku pelajaran, buku agama ini barang strategis. Sehingga dikecualikan tidak dipungut pajaknya atau 0 (persen) berarti," imbuhnya.
"Jadi, sebenarnya ruang yang mau diciptakan pemerintah adalah ayo ini ada distorsi. Kalau kita ingin adil ayo kita perbaiki. Lalu disodori skema tarif," bebernya.
Advertisement