Staf Khusus Sri Mulyani: Indonesia Bisa Bangkit Lagi Jadi Negara Menengah Atas

Pemerintah Indonesia masih bisa menjaga agar pertumbuhan ekonomi nasional tidak terkontraksi sedalam negara-negara lain di tengah pandemi Covid-19.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Jul 2021, 17:45 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2021, 17:45 WIB
Gubernur Anies Klaim Kemiskinan DKI Jakarta Terkecil di Indonesia
Kondisi permukiman warga di bantaran Sungai Ciliwung kawasan Manggarai, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan Jakarta berhasil mencapai persentase penduduk miskin terkecil dalam lima tahun terakhir, 3,42 persen pada tahun 2019. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Covid-19 membuat Indonesia harus rela kembali turun posisi jadi negara berpendapatan menengah bawah. Padahal sebelumnya, Bank Dunia sempat memasukan Indonesia ke dalam kategori negara berpendapatan menengah atas atau Upper Middle-Income Country (UMIC).

Posisi Upper Middle-Income Country didapat setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi secara konsisten rata-rata 5,4 persen dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi. Pada 2019 lalu, Indonesia mencatat pendapatan per kapita mencapai USS 4.050 di 2019, sedikit di atas ambang batas minimal yakni USD 4.046.

Meski turun peringkat menjadi negara berpendapatan menengah bawah, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, tetap yakin Indonesia bisa kembali merebut posisi negara berpendapatan menengah atas.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia masih bisa menjaga agar pertumbuhan ekonomi nasional tidak terkontraksi sedalam negara-negara lain di tengah pandemi Covid-19.

"Turunnya kan sedikit itu. Mustinya peluang sangat terbuka pasca pemulihan," ujar Yustinus kepada Liputan6.com, Jumat (9/7/2021).

Yustinus menilai, pemerintah saat ini tengah fokus dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk menyelaraskan pemulihan kesehatan sekaligus perputaran roda ekonomi masyarakat. Sehingga Indonesia bisa kembali bangkit dari level negara menengah bawah.

Ungkapan ini senada dengan pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, yang mengatakan pandemi Covid-19 merupakan sebuah tantangan yang besar. Krisis kesehatan telah memberi dampak sangat mendalam pada kehidupan sosial dan aktivitas ekonomi global.

"Pandemi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi negatif di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia, di tahun 2020. Dengan demikian maka penurunan pendapatan per kapita Indonesia merupakan sebuah konsekuensi yang tidak terhindarkan," ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Respons Kebijakan Fiskal

FOTO: Kemiskinan DKI Naik 1,11 Persen Selama September 2020
Deretan permukiman penduduk semi permanen di bantaran Sungai Ciliwung, Jakarta, Senin (5/10/2020). Pemprov DKI mencatat kenaikan angka kemiskinan Jakarta sebesar 1,11 persen menjadi 4,53 persen pada bulan September 2020 karena terdampak pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Kendati begitu, Febrio menyebutkan, melalui respons kebijakan fiskal yang adaptif dan kredibel, pemerintah mampu menahan terjadinya kontraksi ekonomi yang lebih dalam.

Febrio mengatakan, di tengah tekanan dari pandemi, pemerintah terus konsisten menggulirkan kebijakan yang difokuskan pada upaya penanganan pandemi, penguatan perlindungan sosial, serta dukungan bagi dunia usaha, termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menurut catatannya, program perlindungan sosial PEN telah efektif dalam menjaga konsumsi kelompok masyarakat termiskin di saat pandemi. Sehingga di tengah penurunan tingkat pendapatan per kapita secara agregat, masyarakat miskin dan rentan tetap mendapatkan perlindungan yang layak.

Tingkat kemiskinan mampu dikendalikan menjadi 10,19 persen pada September 2020. Tanpa adanya program PEN, Bank Dunia mengestimasi angka kemiskinan Indonesia tahun 2020 dapat mencapai 11,8 persen.

"Artinya program PEN di tahun 2020 telah mampu menyelamatkan lebih dari 5 juta orang dari kemiskinan. Bahkan lebih jauh, program PEN juga mampu menjadi motor pemulihan ekonomi sehingga mampu menciptakan 2,61 juta lapangan kerja baru dalam kurun September 2020 hingga Februari 2021," paparnya.

Bank Dunia: Indonesia Turun Peringkat Jadi Negara Berpenghasilan Menengah Bawah

FOTO: Dampak Covid-19, Jumlah Penduduk Miskin Jakarta Meningkat 1,11 Persen
Lansekap pemukiman penduduk terlihat di kawasan Pluit, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebutkan jumlah penduduk miskin di Jakarta meningkat 1,11 persen akibat terdampak pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, Laporan Bank Dunia (World Bank) menyebutkan peringkat Indonesia turun menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income).

Posisi Indonesia turun karena Gross National Income (GNI) Indonesia hanya sebesar USD 3.979 per kapita. Pemicunya kondisi ekonomi nasional yang terjadi sepanjang 2020.

Melansir situs resmi Bank Dunia, Rabu (7/7/2021), pada tahun sebelumnya, Indonesia dimasukkan dalam negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income).

Kala itu, Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto Indonesia mencapai USD 4.050 per kapita.

"Indonesia, Mauritius, Rumania, dan Samoa sangat dekat dengan ambang batas klasifikasi pada tahun 2019 dan semuanya mengalami penurunan Atlas GNI per kapita terkait COVID-19, yang mengakibatkan klasifikasi lebih rendah pada tahun 2020," mengutip penjelasan Bank Dunia.

Posisi Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah ke bawah bersama-sama dengan Aljazair, Angola, Bangladesh, Belize, Benin, Bolivia, Mesir, El Savador, India, Iran, Myanmar, Filipna dan lainnya.

Bank Dunia membagi perekonomian dunia ke dalam empat kelompok pendapatan—negara-negara berpenghasilan rendah, menengah-bawah, menengah-atas, dan tinggi.

Klasifikasi diperbarui setiap tahun pada tanggal 1 Juli dan didasarkan pada GNI per kapita dalam Dolar AS.

Adapun perubahan klasifikasi karena dua alasan. Di setiap negara, faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan penduduk mempengaruhi GNI per kapita. Revisi metode dan data neraca nasional juga dapat mempengaruhi GNI per kapita.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya