Liputan6.com, Jakarta - Pelaku industri dalam negeri baru bisa menguasai 31 persen pasar alat kesehatan (alkes) di Indonesia. Hal ini sangat disayangkan karena artinya sebagian besar alat kesehatan yang digunakan di Indonesia masih impor.
Direktur Utama PT Indofarma Tbk Arief Pramuhanto menjelaskan, dengan kondisi ini, investasi alat kesehatan di dalam negeri atau di Indonesia sebenarnya sangat menarik. Apalagi dengan belanja alkes buatan yang dialokasikan pemerintah sebesar Rp 6,5 triliun.
Baca Juga
"Sekali lagi, ini menjadi challenge buat kita semua. Bagaimana dalam negeri bisa melakukan substitusi impor sehingga bisa mengurangi ketergantungan impor khususnya di sektor alkes,” ujar Arief dalam acara Investor Daily Summit (IDS), Kamis (15/7/2021).
Advertisement
Nilai pasar alat kesehatan di Indonesia tumbuh tinggi. Pada 2016, nilainya baru sekitar Rp 65,9 triliun. Angka tersebut melonjak menjadi Rp 84,59 triliun di 2020. Tren positif ini merupakan kontribusi dari tingginya permintaan masyarakat terhadap produk-produk alat kesehatan, khususnya berkaitan dengan pandemi Covid-19.
"Jadi kalau kita lihat pengalaman di 2020 saat mulai pandemi, bed occupancy rate untuk yang sakit normal atau non- covid turun sekitar 65-70 persen. Akibatnya, permintaan terhadap obat turun. Sedangkan produk farma yang terkait dengan pandemi Covid-19 naik luar biasa,” katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ketimpangan
Fenomena yang berbeda terjadi pada sisi alkes. Di mana terjadi ketimpangan, karena impornya lima kali lebih besar atau mencapai Rp 12,5 triliun, dibandingkan pembelian alkes buatan dalam negeri sebesar Rp 2,9 triliun. Dengan demikian, impor alkes masih menjadi tantangan agar dapat diturunkan minimum pada level substitusi.
"Paling nggak, kita bisa menjadi minimum substitusi impor dulu. Kita nggak usah ngomongin terlalu jauh, paling nggak produk-produk yang impor ini, kita bisa buat produk yang sama sehingga bisa dilakukan substitusi,” jelas Arief.
Arief menjelaskan dari sisi farma, sebanyak 1.809 item obat yang tercatat di e-katalog, tinggal 56 jenis obat yang belum diproduksi dalam negeri. Artinya, sebesar 97 persen obat kini sudah bisa diproduksi dalam negeri, walaupun 90 persen bahan bakunya masih berasal dari luar negeri.
Salah satu cara menekan ketergantungan terhadap bahan baku obat dari luar negeri yaitu melalui pengembangan obat herbal. Sebab, bahan baku herbal di Indonesia sangat melimpah.
"Jika jumlah industri fitofarmaka diperbanyak tentu pasokan bahan bakunya lebih aman karena berasal dari Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan obat modern asli Indonesia," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement