Ekonom: Asumsi Makro 2022 Terlalu Optimis, Tidak Realistis

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan gambaran kondisi makro ekonomi dalam RUU APBN 2022 beserta nota keuangan pada Rapat Paripurna DPR 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Agu 2021, 14:42 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2021, 14:15 WIB
Jokowi Kenakan Baju Adat Baduy di Sidang Tahunan MPR
Presiden Joko Widodo saat mengikuti Sidang tahunan MPR RI 2021 di Gedung Nusantra, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). Acara dilaksanakan secara minimalis dengan pembatasan peserta dan pengaturan waktu menjadi lebih singkat. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan gambaran kondisi makro ekonomi dalam RUU APBN 2022 beserta nota keuangan pada Rapat Paripurna DPR 2021.

Adapun gambaran Asumsi Makro dalam RUU APBN 2022, diantaranya pertumbuhan ekonomi dipatok 5 persen-5,5 persen, inflasi dijaga pada tingkat 3 persen, Rupiah diperkirakan pada kisaran Rp 14.350 per Dolar AS.

Kemudian, suku bunga Surat Utang Negara 10 tahun diperkirakan sekitar 6,82 persen, harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan akan berkisar pada USD 63 per barel, dan lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 703.000 barel dan 1.036.000 barel setara minyak per hari.

Ekonom menganggap asumsi makro tersebut terlalu optimis sehingga tidak realistis. Selain itu terdapat inkonsistensi antara target pertumbuhan ekonomi tahun 2022 sebesar 5-5,5 persen dengan target penerimaan pajak yang naik.

“Asumsi makro RAPBN 2022 terlalu optimis tidak realistis. Ada inkonsistensi antara pertumbuhan ekonomi 5-5,5 persen dengan target penerimaan pajak nya naik 9,5 persen dibanding outlook APBN 2021,” kata Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, kepada Liputan6.com, Senin (16/8/2021).

Bhima menjelaskan, inkonsistensi itu terlihat dari penerimaan pajak yang ditargetkan Rp1.506 triliun di 2022 sementara target di 2021 Rp1.229 triliun.

“Kenaikan penerimaan perpajakan jika tidak hati-hati bisa menggerus daya beli masyarakat. Alhasil konsumsi rumah tangga terhadap barang dan jasa akan terpengaruh,” jelasnya.

Menurutnya, saat ini Pemerintah sedang membahas RUU KUP, maka tidak mungkin bisa dalam waktu singkat implementasinya langsung naikkan penerimaan pajak 22,5 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Asumsi Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

FOTO: Pandemi, Sebagian Anggota Dewan Ikuti Sidang Tahunan MPR Secara Virtual
Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kanan) menyampaikan pidatonya pada Sidang Tahunan MPR 2021 di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2021). Dalam sidang tersebut hanya sebagian angggota dewan yang hadir, sementara sisanya mengikuti sidang secara virtual. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Disisi lain, Bhima juga menilai asumsi inflasi dan pertumbuhan ekonomi juga terlampau jauh. Ketika ekonomi ditarget tumbuh 5-5,5 persen, maka efek ke sisi permintaan akan menimbulkan inflasi sisi permintaan (demand pull).

“Dari sisi pasokan tekanan harga terjadi karena fluktuasi harga komoditas yang cenderung ke atas. Bahan baku naik, maka harga jual akhir dari industri juga naik. Jadi target inflasi 3 persen sepertinya belum mempertimbangkan aspek sisi permintaan maupun pasokan,” tegasnya.

Melihat hal tersebut, Bhima menyebut Pemerintah belum mempertimbangkan faktor eksternal perubahan geopolitik karena eskalasi di Timur Tengah pasca Taliban menguasai ibu kota Afganistan, harga minyak mentah yang cenderung naik, dan tapering off yang dilakukan bank sentral negara maju.

“Faktor-faktor ini dapat menekan kurs rupiah maupun meningkatkan bunga SBN. Pemerintah pede sekali rupiah bisa Rp 14.350 di 2022, padahal ketidakpastian eksternalnya cukup besar,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya